Senin, 29 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Teknologi Pendidikan di Indonesia: Antara Efisiensi dan Ancaman Rasionalitas Teknologis

Pendidikan bermakna haruslah melampaui rasionalitas teknologis sempit menuju pembentukan manusia Indonesia yang utuh, kritis, dan berkarakter.

Editor: Wahyu Aji
Dokumentasi pribadi
Anggota Komisi IV DPR RI dari daerah pemilihan Sumatera Barat (Sumbar), Rahmat Saleh di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Politisi PKS ini menyebut, pendidikan bermakna haruslah melampaui rasionalitas teknologis sempit menuju pembentukan manusia Indonesia yang utuh, kritis, dan berkarakter. 

Oleh: Rahmat Saleh, Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta, Anggota Komisi IV DPR RI 

PANDEMI Covid-19 telah memaksa percepatan adopsi teknologi dalam pendidikan Indonesia.

Transformasi digital ini, yang awalnya solusi darurat, kini menjelma menjadi tren utama.

Teknologi memang menawarkan efisiensi luar biasa: akses materi tanpa batas, platform pembelajaran interaktif, penilaian otomatis, dan perluasan ruang kelas virtual. 

Namun, di balik kemudahan dan citra modern ini, penting kita mencermati dampak filosofis dan sosiologis yang lebih dalam.

Apakah teknologi semata alat netral, atau justru membawa logika baru yang berpotensi menggerus esensi pendidikan itu sendiri?

Melalui lensa teori kritis Mazhab Frankfurt, khususnya pemikiran Herbert Marcuse, tulisan ini berargumen bahwa dominasi teknologi tanpa kesadaran kritis berisiko memperkuat "rasionalitas teknologis" yang mereduksi pendidikan menjadi sekadar mesin produksi lulusan terukur, mengancam dimensi humanistik dan emansipatorisnya.

Efisiensi vs Rasionalitas Teknologis: Logika Tersembunyi di Balik Teknologi Pendidikan

Herbert Marcuse, filsuf kritis Mazhab Frankfurt, memperingatkan bahwa dalam masyarakat modern (termasuk kapitalis), teknologi jarang bersifat netral.

Ia sering kali membawa serta "rasionalitas teknologis"  yaitu suatu logika yang menilai segala sesuatu berdasarkan kriteria efisiensi, produktivitas, dan keterukuran semata. Logika ini, meski terlihat objektif, sesungguhnya berfungsi sebagai bentuk kontrol sosial yang halus (Marcuse, One-Dimensional Man).

Ia tidak hanya memecahkan masalah teknis, tetapi juga membentuk cara berpikir, nilai-nilai, dan relasi sosial, sering kali memperkuat struktur kekuasaan yang ada.

Dalam konteks pendidikan Indonesia pasca/pandemi, gejala rasionalitas teknologis ini semakin nyata.

Pertama, kurikulum dan proses belajar semakin terfragmentasi dan terstandardisasi. Materi dipecah menjadi modul-modul digital terukur, capaian pembelajaran diringkas dalam indikator kuantitatif, dan penilaian diotomatisasi.

Guru, yang seharusnya menjadi fasilitator pemikiran kritis, sering terdesak menjadi "operator sistem" yang menjalankan platform dan mengejar target kelulusan berbasis data. 
Kedua, pengetahuan berubah menjadi komoditas.

Proses belajar direduksi menjadi aktivitas mengonsumsi konten digital (video, modul, kuis) untuk memperoleh nilai (output) dan sertifikat (komoditas) sebagai tiket masuk dunia kerja. Ketiga, ruang interaksi kritis menyempit. 

Diskusi mendalam, refleksi filosofis, dan pertimbangan konteks sosial-budaya yang membutuhkan waktu dan interaksi manusiawi sulit terakomodasi dalam platform yang dirancang untuk efisiensi dan skalabilitas.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan