Sabtu, 4 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Keadilan Sosial, Hukum, dan Kesalahan Memahami Ketimpangan

Banyak sekali kebijakan sosial di Indonesia justru lahir dari tekanan kelompok tertentu, bukan dari kajian komprehensif berbasis data. 

Editor: Sri Juliati
Warta Kota/ANGGA BHAGYA NUGRAHA
KEADILAN SOSIAL - Sejumlah warga yang mengatasnamakan Komunitas Bangsa Bersatu melakukan aksi damai di depan Balaikota, Jakarta Pusat, Senin (12/2/2018). Banyak sekali kebijakan sosial di Indonesia justru lahir dari tekanan kelompok tertentu, bukan dari kajian komprehensif berbasis data.  

Dengan kata lain, negara justru lebih fokus mengatur distribusi kekayaan daripada membuat kebijakan untuk memperbaiki kualitas dan kapasitas masyarakat.

Sowell menyebut kecenderungan ini sebagai bentuk intelektualisme moral. Intelektualisme moral adalah bentuk dorongan kuat untuk terlihat adil di masyarakat meski itu dilakukan tanpa riset yang jelas. 

Banyak sekali kebijakan sosial di Indonesia justru lahir dari tekanan kelompok tertentu, bukan dari kajian komprehensif berbasis data. 

Di Indonesia, pola ini bisa dilihat dari proses penyusunan regulasi yang terburu-buru, minim partisipasi publik dan kurang mengandalkan kajian tentang dampak sosial.

Memanfaatkan Kekuatan Hukum

Hukum, sebagai sarana melegalisasi tindakan, adalah objek yang seringkali menjadi tameng bagi pemerintah untuk menegaskan “keadilan”, meski sekedar keadilan dalam bentuk simbolik. 

Misal, undang-undang dibuat untuk menjamin hak kelompok tertentu tetapi tanpa disertai mekanisme penjaminan hak yang benar-benar efektif.

Padahal dalam beberapa kasus, aturan afirmasi terkadang justru melahirkan dampak negatif berupa ketergantungan. 

Contohnya dapat dilihat dari data Kemenko PMK yang menunjukkan bahwa 60 persen peserta Program Keluarga Harapan (PKH) tidak mengalami kenaikan kelas sosial yang signifikan. 

Padahal itu telah berlangsung selama lebih dari 5 tahun menjadi penerima manfaat. Artinya banyak bantuan yang diberikan kepada masyarakat, termasuk yang bersifat rutin, berakhir mubazir. 

Bantuan itu diberikan, tetapi tidak cukup mampu untuk mendorong perubahan kondisi kehidupan masyarakat.

Di sinilah pentingnya pendekatan hukum yang lebih realistis. Hukum tidak cukup sekadar menyatakan niat baik. 

Ia harus mampu membaca dinamika masyarakat, membedakan antara ketimpangan yang wajar dan ketimpangan yang lahir dari diskriminasi struktural. 

Tidak semua disparitas atau kesenjangan adalah masalah yang harus diselesaikan dengan membuat aturan "penyetaraan". 

Sebab kadang ketidaksetaraan merupakan gejala yang timbul dari masalah sosial, ekonomi, atau budaya yang lebih kompleks.

Sowell bukan sedang menolak upaya mewujudkan keadilan sosial. Ia justru mengingatkan agar keadilan tidak dijalankan dengan cara yang salah. Ia mendorong pendekatan berbasis fakta, bukan prasangka. 

Halaman
123
Sumber: TribunSolo.com

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved