Senin, 29 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Keadilan Sosial, Hukum, dan Kesalahan Memahami Ketimpangan

Banyak sekali kebijakan sosial di Indonesia justru lahir dari tekanan kelompok tertentu, bukan dari kajian komprehensif berbasis data. 

Editor: Sri Juliati
Warta Kota/ANGGA BHAGYA NUGRAHA
KEADILAN SOSIAL - Sejumlah warga yang mengatasnamakan Komunitas Bangsa Bersatu melakukan aksi damai di depan Balaikota, Jakarta Pusat, Senin (12/2/2018). Banyak sekali kebijakan sosial di Indonesia justru lahir dari tekanan kelompok tertentu, bukan dari kajian komprehensif berbasis data.  

oleh Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn.
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta 

TRIBUNNEWS.COM - Thomas Sowell, dalam bukunya Social Justice Fallacies, mengatakan satu hal yang penting untuk kita renungkan yakni perihal "tidak semua ketimpangan adalah ketidakadilan." 

Banyak kebijakan sosial modern, menurut Sowell, dibangun di atas asumsi yang keliru bahwa setiap perbedaan "pendapatan" di antara masing-masing individu atau kelompok itu selalu disebabkan oleh diskriminasi sistemik. 

Padahal kenyataannya tidak demikian. Perbedaan "pendapatan" itu seringkali juga muncul karena permasalahan yang lebih kompleks dari sekedar mendistribusikan kekayaan.

Gagasan ini relevan dengan situasi Indonesia hari ini. Pemerintah dan pembuat undang-undang seringkali merancang kebijakan atas dasar asumsi bahwa setiap kelompok yang tertinggal harus dibantu melalui aturan afirmatif. 

Di sinilah Sowell memberi kritik tajam. Sowell melihat bahwa kebijakan yang terlalu fokus pada tujuan untuk membuat "masyarakat harus setara" justru sering mengabaikan faktor penyebab terjadinya ketidaksetaraan itu sendiri. 

Faktor penyebab dimaksud seperti faktor budaya kerja, kualitas pendidikan, struktur sosial atau bahkan permasalahan di dalam keluarga.

Contoh di Indonesia

Sebagai contoh, laporan BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa Indeks Ketimpangan (Gini Ratio) Indonesia stagnan di angka 0,388. Angka 0,338 memang bukan angka yang ekstrem. 

Namun angka itu cukup menunjukkan bahwa ada ketimpangan pendapatan di masyarakat kita.

Namun, jika kita telusuri lebih jauh, ketimpangan itu terjadi bukan karena adanya perbedaan terhadap distribusi kekayaan yang dilakukan oleh pemerintah.

Pada laporan lain, yakni pada data PISA 2022 dari OECD, kemampuan membaca siswa Indonesia berada pada peringkat ke-69 dari 81 negara. 

Baca juga: Kontestasi Pemilihan dan Keadilan Sosial

Jika dikaitkan dengan paragraf sebelumnya, maka dapat kita simpulkan ketimpangan kualitas pendidikan di berbagai daerah jauh lebih tajam daripada ketimpangan pendapatan. 

Ketimpangan ini, atau ketimpangan dalam kualitas pendidikan, merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi hasil pandapatan seseorang dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Nahasnya, pendekatan kebijakan yang diambil oleh pemerintah justru sering menyepelekan akar masalah seperti ini. 

Alih-alih memperbaiki mutu pendidikan, pemerintah dan pembuat undang-undang lebih banyak mengatur tentang standar kebutuhan hidup, insentif, dan diakhiri dengan pemberian bantuan langsung tunai. 

Halaman
123
Sumber: TribunSolo.com

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan