Selasa, 7 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Ketika Lahan Rakyat Dikorbankan: Menyoal Pembebasan Tanah yang Tak Kunjung Diganti Rugi

Di berbagai daerah di Indonesia, fenomena pembebasan lahan yang tidak disertai mekanisme ganti rugi yang “tuntas” dirasakan masih ada

|
HandOut/IST
PEMBEBASAN LAHAN - Penulis opini, IGN Agung Y Endrawan SH MH CCFA. Praktisi Hukum, Mahasiswa S3 Kebijakan Publik, Mantan Direktur Kebijakan Bakamla dan Mantan Asisten Komisioner KASN ini menyoroti soal fenomena pembebasan tanah yang tak Kunjung diganti rugi 

Berdasarkan Pasal 86 dan Pasal 87 UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, setiap pejabat yang dengan sengaja tidak menyelamatkan, menyalahgunakan, atau merusak arsip negara dapat dipidana dengan hukuman penjara atau denda.

Ini berarti, kegagalan dalam mengelola arsip pengadaan tanah yang mengakibatkan hilangnya hak masyarakat, bukan hanya berdampak administratif, tetapi juga bisa pidana.

Bayangkan, jika tanah milik warga telah digunakan untuk kepentingan umum. Sertifikat masih atas nama mereka. Namun karena tidak ada respons dari pemerintah, ganti rugi tidak dibayarkan.

Warga pun dapat kehilangan tanah, kepastian hukum, dan bahkan kepercayaan terhadap negara. Ini bukan hanya pelanggaran administratif, melainkan juga potensi Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Negara Harus Hadir, Bukan Menghindar

Sudah saatnya negara mengubah pendekatan. Pembangunan tidak boleh hanya soal menyelesaikan proyek fisik, tapi juga menyelesaikan urusan kemanusiaan di belakangnya, sebagaimana yang dituangkan dalam Pasal 2 Pancasila yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, dalam arti memanusiakan manusia secara adil dan ber-adab.

Gubernur sebagai kepala daerah, Walikota sebagai pelaksana teknis, dan Kepala Kantor Pertanahan sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah, semuanya sebagai pejabat publik harus hadir melayani menjawab keluhan warga, dan mempercepat proses penyelesaian hak ganti rugi.

Dalam hal ini, peran Gubernur sesuai tingkatannya tidak dapat dianggap pasif. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2012 dan Pasal 22 PP No. 19 Tahun 2021, Gubernur memiliki kewenangan untuk menetapkan lokasi pengadaan tanah pada tingkat provinsi atas usulan instansi yang memerlukan tanah.

Ketika pembangunan sudah terjadi di lapangan tanpa penyelesaian hak warga, Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berwenang mengoordinasikan dan memfasilitasi penyelesaian pengadaan tanah, termasuk dalam hal jika terjadi konflik atau keterlambatan, gubernur seyogyanya turun tangan untuk memastikan penyelesaiannya.

Demikian pula Kepala Daerah yang memiliki tanggung jawab konstitusional sebagai penyelenggara urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan pengendalian banjir (Pasal 12 dan Pasal 14 UU No. 23 Tahun 2014).

Tidak ada kepastian hukum yang dapat dibenarkan jika kepala daerah hanya menjalankan sisi teknis pembangunan tetapi abai pada pemenuhan hak hukum warga yang terdampak.

Selain itu, Badan Kepegawaian Negara (BKN) seyogyanya dapat bertindak dengan menggunakan hukum progresif seperti halnya KASN sebelumnya, memegang tanggung jawab moral dan administratif dalam menjaga kualitas dan profesionalitas ASN agar taat pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (Pasal 2 dan Pasal 10 UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN).

Bila terdapat pejabat-pejabat ASN tidak menjalankan tugasnya dalam memberikan pelayanan yang baik sesuai kewajiban hukum, maka kiranya BKN dapat melakukan tindak lanjut dengan verifikasi di lapangan secara pro aktif dan bila hasil verifikasi benar, wajib memberi tindakan administratif.

Bahkan, sangat memungkinkan BKN untuk mencatat tindakan pejabat tersebut dalam rekam jejak pada sistem SIASN (Sistem Informasi Aparatur Sipil Negara), yang akan mempengaruhi jenjang karier ASN yang bersangkutan, termasuk melakukan pemblokiran terhadap pengajuan administratif, seperti usulan pangkat, permintaan penundaan mutasi dan promosi pada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), hingga pejabat yang bersangkutan menyelesaikan tanggung jawab hukumnya, dan menteri/kepala daerah pun sebagai PPK memantau rekam jejak ASN di bawahnya 

Lebih lanjut, ASN yang dengan itikad tidak baik menyalahgunakan kewenangannya juga dapat dijatuhi sanksi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Dalam pasal-pasalnya disebutkan bahwa setiap PNS wajib melaksanakan tugasnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dan pelanggaran terhadap kewajiban atau larangan PNS dapat dikenakan hukuman sesuai dengan tingkatannya, mulai dari disiplin ringan, sedang, hingga berat, termasuk pemberhentian dengan tidak hormat.

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved