Tribunners / Citizen Journalism
Ketika Lahan Rakyat Dikorbankan: Menyoal Pembebasan Tanah yang Tak Kunjung Diganti Rugi
Di berbagai daerah di Indonesia, fenomena pembebasan lahan yang tidak disertai mekanisme ganti rugi yang “tuntas” dirasakan masih ada
Ketika Lahan Rakyat Dikorbankan: Menyoal Pembebasan Tanah yang Tak Kunjung Diganti Rugi
Oleh: IGN AGUNG Y. ENDRAWAN SH MH CCFA
Praktisi Hukum, Mahasiswa S3 Kebijakan Publik, Mantan Direktur Kebijakan Bakamla dan Mantan Asisten Komisioner KASN
PEMBANGUNAN infrastruktur adalah keniscayaan. Jalan raya, sungai yang dinormalisasi, dan fasilitas umum lainnya dibangun demi mengurangi kemacetan, banjir, dan meningkatkan aksesibilitas warga.
Namun di balik narasi besar pembangunan ini, ada kisah-kisah kecil yang kerap luput dari sorotan.
Kisah warga biasa yang kehilangan tanahnya, tetapi tak kunjung mendapatkan ganti rugi, penulis sendiri pernah hampir mengalami kehilangan sebagian tanahnya atas nama pembangunan.
Masyarakat yang awam tentu tidak bisa berbuat banyak, tanah yang dulu mereka pijak, kini sudah menjadi jalan umum, saluran air, atau jalur inspeksi.
Mereka hanya bisa menatapnya dari jauh tanpa kejelasan dan tanpa kepastian, meskipun tidak semua fenomena ini berakhir dengan ketidakjelasan, namun ada juga yang dengan itikad baik sesuai prosedur pengadaan tanah dan dibayarkan, tergantung dari seberapa besar tingkat pengetahuan pejabat terhadap aturan mekanisme pengadaan tanah, kualitas tertib administrasi, pengawasan melekat dan/atau potensi seberapa besar oknum dapat memanfaatkan kondisi kesempatan.
Ketika Tanah Hilang, Hak pun Raib
Di berbagai daerah di Indonesia, fenomena pembebasan lahan yang tidak disertai mekanisme ganti rugi yang “tuntas” dirasakan sebagian masyarakat masih tetap ada dan berpotensi terus berulang.
Misalnya, tanah warga digunakan untuk proyek normalisasi kali, pelebaran jalan, atau pembangunan jalur hijau dan lain sebagainya. Proyeknya selesai, manfaatnya dirasakan publik, tapi ada hak pemilik lahannya tertinggal di belakang.
Mereka masih menyimpan sertifikat yang sah, namun tidak pernah diundang dalam musyawarah, tidak pernah ditemui oleh appraisal, bahkan ada yang tidak tahu menahu bahwa tanahnya telah diambil negara untuk pembangunan.
Dari pengamatan penulis, kisah seperti ini bukan hanya terjadi di satu tempat, melainkan di berbagai wilayah.
Warga yang kehilangan tanahnya terus berjuang menagih haknya. Proyeknya telah lama selesai, namun ganti rugi tak kunjung datang.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Masjid di Garut Dibangun dari 12 Ton Sampah Plastik, Diprediksi Bisa Selamatkan 8 Ribu Pohon |
![]() |
---|
Jelang Muktamar X PPP, Sejumlah Calon Ketua Umum Muncul, Mardiono Masih Disebut-sebut akan Maju |
![]() |
---|
Jelang Muktamar X, Tokoh PPP Papua Raya Nason Utty Dukung Mardiono Pimpin PPP |
![]() |
---|
BPKP Buka Suara Usai Hasil Audit Soal Pengadaan Chromebook Diungkit Kubu Nadiem Makarim |
![]() |
---|
Giant Sea Wall Butuh Dana Besar, Pemerintah Undang Investor Asing |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.