Tribunners / Citizen Journalism
Ketika Lahan Rakyat Dikorbankan: Menyoal Pembebasan Tanah yang Tak Kunjung Diganti Rugi
Di berbagai daerah di Indonesia, fenomena pembebasan lahan yang tidak disertai mekanisme ganti rugi yang “tuntas” dirasakan masih ada
Ada yang bertahun-tahun mereka bersurat kepada berbagai instansi, tapi yang datang bukanlah keadilan, melainkan keheningan, meskipun dalam fakta di lapangan tidak bisa dipukul rata.
Di Atas Nama Pembangunan, Aturan Dilanggar
Padahal, jika merujuk pada hukum yang berlaku, semua itu seyogyanya tidak boleh terjadi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum sangat jelas menyebutkan bahwa ganti kerugian adalah hak yang melekat dan wajib diberikan sebelum tanah digunakan.
Pasal 40 ayat (1) menyatakan bahwa penggunaan tanah oleh negara hanya boleh dilakukan setelah ganti rugi dibayarkan.
Bahkan dalam Pasal 69 - 79 mengatur teknis pengadaan tanah mengharuskan adanya penilaian oleh tim appraisal, musyawarah dengan pemilik, hingga pembayaran melalui rekening pribadi.
Prosedur ini berlaku baik dalam kondisi di mana pemilik tanah dapat diidentifikasi secara sah maupun dalam kasus di mana pemilik tanah tidak jelas atau tidak diketahui.
Untuk pemilik yang jelas, mekanismenya meliputi pemberian informasi, musyawarah, penilaian oleh appraisal independen, dan pencairan dana ke rekening pemilik.
Sementara dalam kasus pemilik tidak diketahui, atau menolak hadir, proses dilanjutkan melalui mekanisme konsinyasi di Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU No. 2 Tahun 2012 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Konsinyasi Ganti Rugi.
Namun beberapa terdapat realita, pembangunan mendahului hukum acara pengadaan tanah.
Alih-alih memastikan hak warga terpenuhi, proyek tetap berjalan tanpa penetapan lokasi, tanpa appraisal, tanpa anggaran ganti rugi. Beberapa diantaranya, potensi pejabat berlindung di balik dalih prosedur belum lengkap.
Padahal, potensi pengambilan sepihak hak warga secara sistemik dan diam-diam dapat terjadi.
Pasal 87 ayat (1) PP Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, menyebutkan Jika tanah telah dimanfaatkan sebelum ganti rugi dibayarkan, maka instansi wajib segera menyelesaikan ganti rugi.
Kelalaian yang Jadi Maladministrasi dan Potensi Pidana Kearsipan
Tindakan pembiaran ini tidak bisa dianggap ringan. Dalam perspektif hukum administrasi, ini adalah bentuk nyata dari maladministrasi.
UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia menyebutkan bahwa pengabaian kewajiban hukum oleh pejabat publik dalam memberikan pelayanan yang merugikan masyarakat termasuk dalam kategori maladministrasi.
Sementara dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 17 ayat (2) menyebutkan bahwa pejabat yang tidak melaksanakan kewenangan sesuai ketentuan hukum dianggap menyalahgunakan wewenang.
Lebih jauh, jika dokumen-dokumen penting terkait pengadaan tanah, seperti hasil pengukuran, berita acara musyawarah, atau bukti pembayaran, tidak dikelola dan disimpan sebagaimana mestinya, maka hal itu juga dapat berujung pada pidana.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Masjid di Garut Dibangun dari 12 Ton Sampah Plastik, Diprediksi Bisa Selamatkan 8 Ribu Pohon |
![]() |
---|
Jelang Muktamar X PPP, Sejumlah Calon Ketua Umum Muncul, Mardiono Masih Disebut-sebut akan Maju |
![]() |
---|
Jelang Muktamar X, Tokoh PPP Papua Raya Nason Utty Dukung Mardiono Pimpin PPP |
![]() |
---|
BPKP Buka Suara Usai Hasil Audit Soal Pengadaan Chromebook Diungkit Kubu Nadiem Makarim |
![]() |
---|
Giant Sea Wall Butuh Dana Besar, Pemerintah Undang Investor Asing |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.