Tribunners / Citizen Journalism
Tambang Nikel di Raja Ampat
Menakar Ketegasan Negara di Kawasan Raja Ampat
Langkah cepat pemerintah cabut 4 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Raja Ampat, sinyal positif bahwa negara tidak tunduk pada kepentingan ekonomi.
Editor:
Theresia Felisiani
Tidak sedikit keputusan strategis pemerintah yang baru berubah setelah mendapat tekanan sosial yang masif, baik dalam isu reklamasi, pembangunan kawasan industri, maupun pembukaan konsesi tambang.
Padahal, kebijakan publik seharusnya bersifat deliberatif, partisipatif, dan berlandaskan pada data yang transparan. Pemerintah perlu membangun mekanisme komunikasi kebijakan yang lebih edukatif, sehingga masyarakat dapat memahami latar belakang keputusan, risiko yang dihadapi, serta konsekuensi jangka panjangnya.
Dilema Hukum dan Kepastian Investasi
Di satu sisi, pencabutan IUP di Raja Ampat mencerminkan keberpihakan negara terhadap pelestarian lingkungan dan kepentingan jangka panjang rakyat.
Namun di sisi lain, langkah ini juga memunculkan tantangan hukum yang tidak ringan. Beberapa perusahaan telah melakukan investasi awal, menyusun dokumen AMDAL, dan mendapatkan pengesahan legal dari otoritas lokal.
Dalam konteks ini, pencabutan sepihak berpotensi memicu gugatan hukum atau bahkan arbitrase internasional jika investor merasa dirugikan. Bagi investor, kepastian hukum adalah kunci utama dalam menanamkan modal.
Ketika izin yang sah dapat dicabut secara mendadak tanpa mekanisme penyelesaian sengketa yang adil dan transparan, maka iklim investasi nasional bisa terganggu. Apalagi di sektor strategis seperti pertambangan nikel, yang menjadi komoditas kunci dalam transisi energi global dan kendaraan listrik.
Pemerintah perlu menunjukkan bahwa penegakan hukum lingkungan dilakukan secara konsisten dan berkeadilan, tidak selektif atau bersifat politis. Jika pencabutan izin memang harus dilakukan, maka mekanisme kompensasi, arbitrase, atau peninjauan administratif harus ditempuh sesuai prinsip due process of law.
Pemerintah belakangan juga memberi sinyal untuk membentuk instansi penegakan hukum yang baru yakni penegak hukum di bidang ESDM/pertambangan, Kehutanan, dan Lingkungan Hidup. Tujuannya agar lebih efektif dalam mengawasi dan menindak pelanggaran-pelanggaran serupa.
SOTK telah disusun dan akan segera berlaku atau bekerja langsung. Pertanyaan dilematisnya, apakah kemudian dengan membentuk “instansi baru”, permasalahan mafia tambang akan segera selesai? Kita tentu ingat bahwa persoalan mendasar lain seperti: mafia tanah, Narkoba, dan mafia hukum itu sendiri masih menyisakan pekerjaan rumah bagi Pemerintah.
Publik kemudian boleh jadi bertanya, apakah pembentukan baru hanya bersifat reaktif saja, karena pada akhirnya efektivitasnya akan dapat diragukan atau dipertanyakan. Fungsi pengawasan ini selalu ada namun tidak pernah responsif secara terukur, hanya menunggu isu viral. Komisi III DPR misalnya menemukan persoalan penegakan hukum yang terjadi di sektor sumber daya alam.
Komisi III membentuk panitia kerja (panja) untuk mendukung sistem penegakan hukum dalam mengawasi sektor sumber daya alam termasuk pertambangan. Selama ini, Polri dan Kejaksaan menyatakan tidak ada permasalahan mendasar yang menyebabkan Polri dan Kejaksaan tidak mampu untuk menindak dan mengawasi pelanggaran hukum di sektor-sektor tersebut.
Nyatanya, masih banyak persoalan pelanggaran yang masih terjadi. Masalahnya tentu bukan hanya di penegakan hukum, namun juga sudah terjadi dari sejak pemberian perizinannya.
Persoalan perizinan ini sebenarnya juga menyinggung kemampuan penegak hukum dalam menelaah potensi adanya tindak pidana korupsi. Kerugian negara sudah jelas terlihat sebagaimana kasus-kasus di sektor pertambangan lainnya.
KPK misalnya telah menemukan permasalahan di Kementerian ESDM, yang tentu berujung pada penerbitan produk hukumnya. Hal ini saja sudah menjadi bukti awal bahwa tindak pidana korupsi dapat terjadi sudah sejak penerbitan izinnya.
Belum lagi operasional maupun jalannya sistem pengawasannya. Artinya sistem penegakan hukum, baik dengan instansi yang ada maupun pembentukan baru, harus melihat efektivitas pelaksanaan dan pengawasannya secara independen, profesional, dan akuntabel.

Reformasi Perizinan dan Penguatan Kawasan Konservasi
Terlepas dari semua itu, yang tentunya paling penting dari momentum keputusan Pemerintah tersebut adalah upaya untuk melakukan reformasi total terhadap sistem perizinan di sektor sumber daya alam.
Pertama, Pemerintah perlu membangun satu sistem perizinan terintegrasi berbasis spasial dan ekologis, yang dapat digunakan semua kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Sistem ini harus terbuka untuk publik agar bisa diawasi secara sosial.
Kedua, kawasan konservasi seperti Raja Ampat perlu dilindungi melalui penguatan institusi pengelola, baik dari sisi anggaran, kewenangan, maupun partisipasi masyarakat adat. Perlu juga dibentuk otoritas lintas sektor yang bisa melakukan verifikasi dan audit izin secara berkala.
Ketiga, DPR bersama Pemerintah harus segera mengevaluasi seluruh IUP yang berada di wilayah pulau kecil dan kawasan strategis konservasi.
Evaluasi ini harus berbasis pada data ilmiah dan keterlibatan masyarakat sipil. Regulasi sektoral yang saling tumpang tindih juga harus segera disinkronkan, termasuk antara UU Minerba, UU Lingkungan Hidup, dan UU Pengelolaan Pesisir.
Jalan Ke Depan
Pada akhirnya, keputusan mencabut IUP di Raja Ampat adalah langkah yang benar dan penting. Namun keputusan yang baik tidak cukup jika tidak dibarengi dengan perbaikan sistemik.
Kita tidak hanya membutuhkan keberanian politik untuk mencabut izin, tetapi juga visi jangka panjang untuk membangun tata kelola sumber daya alam yang adil, transparan, dan berkelanjutan.
Ke depan, negara harus hadir bukan sebagai pemadam kebakaran ketika krisis meledak, tetapi sebagai perancang sistem yang mencegah krisis itu terjadi sejak awal.
Hukum harus dapat mendeteksi, mencegah, dan mengawasi penyalahgunaan atau kebocoran sekaligus menindak tegas seluruh pelanggaran secara konsisten dan efektif (menimbulkan efek jera).
Dengan begitu, kita tidak hanya menyelamatkan Raja Ampat, tetapi juga menyelamatkan kepercayaan rakyat dan masa depan bangsa.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.