Tribunners / Citizen Journalism
Tambang Nikel di Raja Ampat
Menakar Ketegasan Negara di Kawasan Raja Ampat
Langkah cepat pemerintah cabut 4 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Raja Ampat, sinyal positif bahwa negara tidak tunduk pada kepentingan ekonomi.
Editor:
Theresia Felisiani
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang mengatakan ada 35 pulau kecil dengan 195 izin pertambangan di atasnya. Terhadap kasus di Wawonii, Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan gugatan kasasi izin tambang (saat itu menggunakan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) milik PT GKP yang juga beroperasi di pertambangan nikel.
MA menyatakan bahwa Kabupaten Konawe termasuk pulau kecil dengan prioritas kemanfaatan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2014 jo. UU Nomor 27 Tahun 2007.
Selain itu Mahkamah Konstitusi (MK) juga menolak gugatan uji materi PT GKP terhadap Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU Nomor 1 Tahun 2014. Putusan MK Nomor 35/PUU-XXI/2023 menetapkan bahwa pertambangan di pulau kecil termasuk aktivitas yang sangat berbahaya (abnormally dangerous activity).
Secara umum, berbagai instrumen hukum telah menyatakan bahwa dalam ketentuan perundang-undangan, secara umum melindungi pulau-pulau kecil dari aktivitas pertambangan.
Larangan ini hanya dibatasi dalam Bagian keenam dalam Pasal 35 yang menyebutkan bahwa larangan melakukan penambangan pasir pada wilayah apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan, dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Hal ini sama dalam hal penambangan minyak dan gas serta mineral. Hal ini berarti pencabutan izin tersebut memang layak dilakukan.
Lalu mengapa peringatan atau evaluasi tidak dilakukan sejak awal? Di sinilah letak problematika tata kelola perizinan kita. Dalam sistem desentralisasi, banyak perizinan lingkungan dan tambang yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten/kota, tanpa supervisi ketat dari pemerintah pusat.
Padahal, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah membuka ruang bagi pemerintah pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap urusan-urusan yang berdampak lintas sektor atau lintas wilayah.
Tumpang tindih kewenangan, kurangnya integrasi data spasial, serta lemahnya fungsi pengawasan dan evaluasi membuat perizinan tambang menjadi ladang subur bagi konflik, penyalahgunaan kewenangan, bahkan potensi korupsi.
Celah hukum ini pula yang dimanfaatkan sebagian pelaku usaha tambang untuk mengantongi izin meskipun wilayah konsesinya berada di kawasan lindung.
Pemerintah Reaktif terhadap Tekanan Publik
Keputusan mencabut izin ini tidak bisa dilepaskan dari tekanan publik yang luar biasa besar. Kampanye #SaveRajaAmpat di media sosial menggema luas, didukung oleh tokoh lingkungan, masyarakat adat, wisatawan, hingga figur publik nasional. Dalam waktu singkat, isu ini menjadi sorotan nasional bahkan internasional.
Video di media Greenpeace ini menarik banyak perhatian (18,7 juta viewers dan 543.000 likes). Video tersebut menyiratkan eksploitasi sumber daya di Raja Ampat yang mengancam surge terakhir dunia (the last paradise).
Dalam kajian tersebut, aktivitas di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran menyebabkan kerusakan ekologis dan mengancam ekosistem dan biota laut. Aktivitas pertambangan tersebut memicu sedimentasi yang berpotensi merusak karang dan telah membabat 500 hektar hutan dan vegetasi alami.
Respons cepat pemerintah patut diapresiasi. Namun, pola reaktif semacam ini juga menyiratkan lemahnya sistem pengambilan kebijakan yang berbasis pada kajian ilmiah dan partisipasi publik yang terstruktur.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.