Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Menata Ulang Pilar Keadilan Pemilihan Umum, Momentum Revisi UU Pemilu

Revisi UU Pemilu harus dimaknai lebih dari sekadar perbaikan sistem pemungutan suara atau penguatan afirmasi representasi.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
ILUSTRASI PEMILU - Mural menyambut Pemilihan Umum 2024 digambar di tembok pembatas di kawasan Margonda, Depok, Jawa Barat, Sabtu (17/6/2023). 

Kondisi serupa terjadi dalam penanganan dugaan pelanggaran netralitas ASN. Bawaslu hanya berwenang meneruskan hasil pengawasan kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN). Tidak ada kewenangan langsung untuk menjatuhkan sanksi. Bahkan setelah diteruskan, proses penindakannya bergantung penuh pada komitmen dan political will Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Alhasil, pelanggaran netralitas yang jelas-jelas terjadi di lapangan kerap menguap begitu saja, tanpa ada kepastian sanksi yang menimbulkan efek jera.

Model seperti ini menempatkan Bawaslu dalam posisi lemah secara struktural dan politis. Bawaslu memiliki beban untuk mengawasi, tetapi tidak dibekali alat yang memadai untuk memastikan tindak lanjut. Dengan desain seperti ini, Bawaslu secara kelembagaan lemah di hulu – karena tidak memiliki kewenangan penuh untuk menentukan bahwa suatu perbuatan adalah pelanggaran pemilu – dan buntu di hilir – karena tak memiliki kontrol terhadap hasil akhir penegakan hukumnya.

Jika situasi ini terus dipertahankan, maka pengawasan pemilu akan kehilangan daya gigitnya dan berubah menjadi administrasi pelaporan pelanggaran semata. Oleh karena itu, penataan kewenangan dalam revisi UU Pemilu seharusnya diarahkan untuk membongkar sekat sektoral yang menghambat, serta memberikan porsi kewenangan yang proporsional kepada penegak integritas elektoral.

Manata Ulang Wewenang Bawaslu

Revisi UU Pemilu harus dimaknai lebih dari sekadar perbaikan sistem pemungutan suara atau penguatan afirmasi representasi. Ini adalah momentum penting untuk melakukan koreksi terhadap desain kelembagaan pengawasan pemilu.

Salah satu koreksi mendasar yang perlu dan mendesak untuk dilakukan adalah mengubah pendekatan “koordinatif” yang selama ini membelenggu kewenangan Bawaslu, menjadi pendekatan “otoritatif terbatas”.

Dalam pendekatan ini, Bawaslu tidak lantas menjadi lembaga superbody, tetapi diberikan kewenangan hukum yang tegas dan proporsional untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan memenuhi unsur pelanggaran pemilu pada tahap awal (first legal screening).

Pernyataan ini bersifat mengikat secara hukum bagi mitra penegakan hukum pemilu – seperti Polri dan Kejaksaan – sehingga mencegah mandeknya proses di tahap koordinasi. Hal ini penting untuk menjamin efektivitas penegakan hukum, sekaligus menjaga marwah institusi pengawasan yang selama ini sering dipandang hanya sebagai “pengamat dengan seragam”.

Lebih jauh, untuk jenis pelanggaran administratif yang berdampak langsung terhadap kualitas dan integritas hasil pemilu – seperti penyalahgunaan jabatan, penyalahgunaan fasilitas negara, keberpihakan aparatur, dan manipulasi hasil suara – Bawaslu harus memiliki wewenang untuk menyelesaikannya secara cepat dan final, serta berwenang menjatuhkan sanksi, termasuk pembatalan pencalonan atau diskualifikasi peserta pemilu.

Ini bukan soal memperbesar kuasa lembaga, melainkan memastikan bahwa pengawasan bukan sekadar ritual prosedural, melainkan instrumen hukum substantif untuk menjaga keadilan pemilu. Pengawasan pemilu tidak lagi berhenti sebagai catatan moral atau deretan putusan dan rekomendasi pasif, tetapi menjadi alat intervensi hukum yang nyata, progresif, dan menjamin keadilan pemilu.

Konsep penguatan kewenangan ini juga sejalan dengan prinsip rule of law dalam pemilu yang demokratis. Jika pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan massif tidak dapat ditindak dengan efektif hanya karena tumpang tindih kewenangan atau ketidaktegasan prosedur, maka legitimasi hasil pemilu akan selalu menjadi persoalan. Demokrasi prosedural harus dibarengi dengan ketegasan substansi. Dalam hal ini, Bawaslu harus menjadi garda depan, bukan sekadar petugas dokumentasi pelanggaran.

Oleh karena itu, revisi UU Pemilu harus berani mendesain ulang kerangka kelembagaan yang selama ini memperlakukan Bawaslu sebagai pelengkap administratif semata. Posisi Bawaslu saat ini cenderung dipinggirkan ke ranah pendamping, bukan pengambil keputusan strategis. Padahal, dalam sistem pemilu yang demokratis dan kompetitif, keberadaan lembaga pengawas seharusnya tidak hanya difungsikan sebagai “mata” atau “telinga” demokrasi, melainkan juga sebagai tangan yang bisa bertindak tegas ketika norma dilanggar.

Penguatan fungsi ajudikasi administratif menjadi kebutuhan mendesak. Bawaslu harus diberi mandat untuk secara final dan mengikat menyelesaikan pelanggaran administratif tertentu yang bersifat langsung dan berdampak nyata terhadap integritas pemilu, tanpa harus tergantung pada penilaian ulang oleh lembaga lain. Contohnya, politik uang, kampanye di luar jadwal, dan pelibatan aparat negara seharusnya cukup diproses melalui keputusan atau putusan Bawaslu yang final untuk efektivitas dan kepastian hukum. Dengan demikian, proses hukum tidak terjebak dalam birokrasi ganda yang berlarut-larut.

Wewenang dalam validasi awal unsur pelanggaran juga harus diperkuat, sebab posisi hukum Bawaslu saat ini hanya memberi penilaian awal yang tidak bersifat final dan mengikat, sehingga mudah diabaikan oleh lembaga eksekutor lain yang memiliki tafsir atau kepentingan berbeda. Inilah yang menjadi akar dari fragmentasi penegakan hukum pemilu dan melemahnya daya intervensi Bawaslu terhadap pelanggaran serius. Validasi ini penting untuk menghindari tumpang tindih tafsir dan mencegah stagnasi penanganan perkara karena tarik menarik antar-instansi penegak hukum.

Oleh sebab itu, dalam konteks revisi UU Pemilu, penguatan otoritas validasi awal harus diarahkan untuk: (i) memberikan status keputusan awal yang mengikat secara hukum bagi institusi lain dalam sistem penegakan pelanggaran pemilu (setidaknya setara dengan penilaian hukum Kejaksaan dalam tahap pra-penuntutan); dan (ii) menjamin bahwa putusan atau rekomendasi Bawaslu atas pelanggaran administrasi maupun etik tidak hanya dipertimbangkan, tetapi dianggap sebagai dasar tindakan wajib oleh lembaga terkait, kecuali dibuktikan sebaliknya melalui mekanisme keberatan atau koreksi formal.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved