Sabtu, 4 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Menata Ulang Pilar Keadilan Pemilihan Umum, Momentum Revisi UU Pemilu

Revisi UU Pemilu harus dimaknai lebih dari sekadar perbaikan sistem pemungutan suara atau penguatan afirmasi representasi.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
ILUSTRASI PEMILU - Mural menyambut Pemilihan Umum 2024 digambar di tembok pembatas di kawasan Margonda, Depok, Jawa Barat, Sabtu (17/6/2023). 

Oleh Dr Bachtiar, Pengajar HTN FH UNPAM dan Pemerhati Hukum Pemilu 

TRIBUNNERS - Revisi Undang-Undang Pemilu kembali menjadi wacana serius, tidak hanya di parlemen, tetapi juga menjadi diskursus hangat di kalangan penggiat pemilu, akademisi, dan masyarakat sipil.

Berbagai usulan mengemuka, mulai dari perubahan sistem pemilu proporsional terbuka ke tertutup, hingga penguatan afirmasi keterwakilan Perempuan.

Namun, satu aspek yang justru kerap luput dari sorotan publik adalah penataan kewenangan penanganan pelanggaran pemilu oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dalam konteks penguatan demokrasi elektoral, penataan ini bukan sekadar soal teknis kelembagaan, melainkan menyangkut ootoritas negara dalam menjamin keadilan pemilu (electoral justice).

Dalam setiap pemilu, isu pelanggaran – baik administratif, etik, maupun pidana – bukan sekadar pelanggaran aturan, melainkan bentuk pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Pemilu yang jujur dan adil hanya mungkin terwujud jika pengawasan dijalankan secara efektif, independen, dan memiliki daya paksa hukum yang jelas.

Sayangnya, struktur hukum dan desain kelembagaan yang ada saat ini sering kali menempatkan Bawaslu dalam posisi serba terbatas – memiliki mandat pengawasan, tetapi tidak cukup diberi otoritas untuk memastikan pelanggaran benar-benar ditindak. Maka revisi UU Pemilu bukan hanya momentum legislasi, tetapi juga peluang untuk merevitalisasi peran Bawaslu sebagai pengawal integritas demokrasi elektoral.

Lemah di Hulu, Buntu di Hilir

Selama ini, penanganan pelanggaran pemilu tersekat ke dalam tiga ranah hukum: administrasi, etik, dan pidana. Masing-masing memiliki mekanisme dan lembaga tersendiri. Namun dalam praktiknya, sekat tersebut justru menciptakan fragmentasi yang melemahkan efektivitas penegakan hukum pemilu. Bawaslu yang semestinya menjadi aktor sentral dalam pengawasan, kerap terjebak dalam relasi koordinatif yang timpang.

Khusus untuk pelanggaran pidana pemilu, Bawaslu harus melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), bersama Kepolisian dan Kejaksaan. Sayangnya, banyak kasus berhenti di meja koordinasi karena perbedaan tafsir hukum, kurangnya keberanian politis, atau alasan prosedural. Bawaslu hanya diberi hak untuk “mengajukan” dan “berkoordinasi”, bukan “memutuskan” dan “menjamin tindak lanjut”. Inilah salah satu titik lemah utama pengawasan pemilu.

Situasi ini menyebabkan proses penanganan pelanggaran menjadi stagnan di dua titik krusial: pertama, ketika terjadi tarik menarik interpretasi hukum antar lembaga; dan kedua, ketika ada kekosongan atau kelemahan keberanian institusional dalam menindak pelanggaran yang memiliki sensitivitas politik tinggi.

Akibatnya, banyak pelanggaran yang nyata terjadi di lapangan – seperti politik uang, penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat negara, atau mobilisasi ASN – berakhir tanpa sanksi, bahkan sebelum mencapai tahap penyidikan.

Lebih jauh, ketergantungan Bawaslu pada lembaga lain dalam menangani pelanggaran pidana memperlemah posisi kelembagaannya. Tidak jarang, Bawaslu harus menahan diri atau bahkan mengalah pada tafsir dominan dari Kepolisian atau Kejaksaan yang menolak melanjutkan suatu laporan atau temuan.

Hal ini tidak hanya menimbulkan ketimpangan dalam fungsi penegakan hukum, tetapi juga memperlemah persepsi publik terhadap independensi dan efektivitas Bawaslu.

Masalah lain yang tak kalah mendasar adalah posisi hukum rekomendasi Bawaslu yang lemah. Dalam berbagai kasus terutama pelanggaran administratif, Bawaslu hanya dapat memberikan rekomendasi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Sayangnya, rekomendasi ini tidak bersifat mengikat, karena KPU masih melakukan penilaian ulang terhadap pelanggaran yang direkomendasikan. Dengan demikian, implementasi sanksi menjadi sangat tergantung pada kehendak lembaga lain (KPU), yang secara hierarkis sejajar. Relasi ini menciptakan kekosongan kewenangan dan membuka ruang tarik menarik kepentingan, alih-alih penegakan keadilan pemilu.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved