Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Pengesahan UU BUMN, DPR RI Mengkhianati Penegakan Hukum dan Semangat Anti Korupsi

Secara prosedural, pengesahan UU BUMN cacat formil di mana hampir nihilnya partisipasi publik hingga tidak adanya transparansi

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
PARIPURNA RUU BUMN - Suasana Rapat Paripurna ke-12 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/2/2025). Rapat Paripurna DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (RUU BUMN) menjadi undang-undang. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Sejumlah pasal yang dirancang baik untuk BUMN maupun Danantara melalui UU BUMN ini berpotensi kuat untuk bukan hanya melanjutkan dan memperburuk trenkorupsi yang selama ini marak terjadi di lingkungan BUMN, tetapi juga menjadikan kasus korupsi menjadi sulit atau bahkan tidak dapat lagi dideteksi keberadaannya oleh penegak hukum.

Padahal kita tahu, daei tahun ke tahun, dekade ke dekade ada saja korupsi yang terjadi di berbagai BUMN kita. 

Indonesian Corruption Watch mencatat terdapat sedikitnya 212 kasus korupsi yang terjadi di tubuh BUMN sepanjang 2016–2023 dengan total kerugian negara sebanyak Rp64 triliun.

Maka, jika benar bahwa revisi UU BUMN ini adalah untuk makin melancarkan aksi korupsi, kita harus bersiap menghadapi kerugian negara yang lebih banyak ke depan.

Kritik pada UU No 1 Tahun 2025

Paling tidak ada 3 hal krusial bahwa Revisi UU BUMN oleh DPD RI sangat jelas mematikan semangat anti korupsi, yang pertama adalah pemangkasan fungsi - fungsi pengawasan yang dulunya melekat pada BUMN. Sebagai salah satu contoh, pada Pasal 71 UU BUMN yang lama, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dibekali kewenangan untuk melakukan pemeriksaan/ audit terhadap BUMN dalam bentuk pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, serta pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). 

Pasca revisi UU BUMN, BPK kini hanya dapat melakukan audit terhadap BUMN dalam bentuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) itupun dalam ketentuan yang baru ini bila ada permintaan alat kelengkapan DPR yang membidangi BUMN. Jelas ini berpotensi untuk menghadirkan politisasi terhadap fungsi pengawasan keuangan yang idealnya bersifat profesional, akuntabel, dan lepas dari segala anasir politik.

Praktis, PDTT yang selama ini dilakukan oleh BPK untuk keperluan investigasi demi mengungkap indikasi kerugian negara dan/atau adanya unsur pidana seperti korupsi, kini perlu mendapatkan “restu” terlebih dahulu dari cabang kekuasaan politik yang tentu akan sarat dengan konflik kepentingan dan justru menghalangi fungsi-fungsi pengawasan yang optimal. 

Yanh kedua, terkait pasal 3X ayat 1 dan Pasal 9G yang menyatakan bahwa organ-organ penyelenggara BUMN BUKAN lagi masuk kategori penyelenggara Negara.

Ini artinya bahwa sesuai dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka KPK tidak lagi bisa melakukan investigasi dan Penindakan apabila terjadi kasus korupsi di tubuh BUMN. 

Pasal 11 ayat 1: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang: a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Maka dengan UU BUMN hasil revisi ini, KPK tidak lagi dapat melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap indikasi tindak pidana korupsi menyangkut kerugian negara yg dilakukan oleh penyelenggara - penyelenggara dna para pejabat DI BUMN.

Pengesahan UU BUMN ini tentu menjadikan pertanyaan besar apa yang diinginkan DPR RI saat mengesahkan revisi UU BUMN ini. 

Ketiga, dihilangkannya frasa “yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan” dalam UU BUMN hasil revisi ini mengandung arti bahwa dana yang diperoleh oleh BUMN dari negara tidak dimaknai lagi sebagai kekayaan negara yang dipisahkan.

Implikasi dari hilangnya frasa tersebut dapat diartikan bahwa kekayaan BUMN tidak lagi masuk ke dalam definisi keuangan negara.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved