Tribunners / Citizen Journalism
UU BUMN Cerminan Hukum Bisnis, Bagaimana Peran KPK Kemudian?
Baru baru ini sedang ramai dibahas terkait uu no. 1 tahun 2025, tentang UU BUMN (Badan Usaha Milik Negara)
Ditulis oleh : C Suhadi SH MH
Advokat Tim Hukum Merah Putih
TRIBUNNEWS.COM - Baru baru ini sedang ramai dibahas terkait uu no. 1 tahun 2025, tentang UU BUMN (Badan Usaha Milik Negara), yang pemberlakuannya dinyatakan sebagai UU pada tanggal 24 Febuari 2025.
Menurut ketentuannya UU No.1 BUMN adalah perubahan dari UU No. 19 Tahun 2003.
Ramainya uu ini menjadi pembahasan banyak orang terkait bunyi pasal 3x yang berbunyi : Organ dan pegawai Badan bukan merupakan penyelenggara negara. Pasal ini dipertegas dengan pasal 9g, Direksi dan Komisaris bukan penyelenggara negara.
Dari munculnya dua pasal ini Mentri BUMN Erick Thohir telah mensosialisasikan kedudukan organ, pegawai dan direksi serta komisaris bukan sebagai penyelenggara negara kepada KPK dan Kejaksaan Agung, atau lebih tepatnya pesan yang disampaikan kepada KPK dan Kejaksaan bahwa BUMN yang mengelola kekayaan negara tidak boleh dikenakan UU Tipikor.
Hal ini karena BUMN bukan lagi penyelenggara negara, sementara dalam kontek gaji, tunjangan dll bersumber dari Negara. Karena BUMN yang terbagi dalam dua kategori yaitu perseroan ( PT ) sebagian besar modalnya dari pemerintah dan Perum (Perusahaan umum ) seluruh modalnya milik pemerintah.
Dengan merujuk kepada alasan diatas keberandaan Direksi, komisaris dan pegawai tidak dapat dilepaskan dari kedudukannya sebagai penyelenggara negara.
Selain itu akan berbenturan dengan uu No. 28 tahun 1999 yang di dalamnya ada peran eksekutif seperti: direksi, komisaris dan lain.
Sehingga dengan merujuk kepada, bukan lagi, penyelenggara negara UU tidak menjelaskan secara lebih rinci akan sebutan organ atau pegawai lantas disebut apa, karena ini menjadi penting tentang kedudukan hukumnya, kalau tidak akan menjadi penggalan yang sulit dimaknai kemana arah tujuan dari uu ini.
Sebab kalau lepasnya direks, komisaris dan pegawai bumn dari peran penyelenggara negara agar tidak dapat dijerat UU Tipikor yang memang menjadi tujuan dibuatnya UU ini harusnya bisa banyak cara dilakukan.
Misal, membuat MoU dengan KPK pada kerja kerja strategis juga kejaksaan tanpa menghilangkan peran penyelenggara negara.
Barangkali Freeport dapat dijadikan rujukan besar pada kinereja BUMN, karena Freeport perusahaan BUMN yang bergerak di tambang emas dan pemerintah (Indonesia ) mempunyai saham sebesar 51 persen tanpa KPK dapat masuk pada kerja sama itu.
Kenapa jalan tengah ini perlu skala prioritas, karena kalau tidak ini akan menjadi sangat bahaya dalam penegakan hukum utamanya menyangkut pengawasan dan didalamnya ada kekayaan yang harus dijaga dari tangan tangan yang tidak beritikad baik.
Dalam wawancara saya dengan Elsinta, Selasa, 6 Mei 2025, pada jam 10 15 WIB jujur saya agak ragu membahas masalah ini, karena sebagai narsum belum mendalami UU BUMN yang baru saja diundangkan, kecuali mencermati isi pasal pokok yang lagi heboh ( vide 3x dan 9g ).
Pasal itu saya bayangkan dengan seorang menterinya yang belatar belakang pengusaha.
Maka bayangan saya kementerian yang dipimpinnya akan dibawa pada dunia usaha yang komersil, kompetitif dan mempunyai daya saing.
Ternyata rabaan itu terjawab setelah membaca pasal 87 F angka, 1, 2, 3 dan 4 yang merupakan pasal yang mengatur persengketaan.
Dalam pasal itu intinya semua persengketaan tidak dibawa ke ranah hukum baik itu pidana, perdata maupun arbitrase.
Karena mekanismenya adalah dipercayakan kepada azas musyawarah untuk mufakat ( ayat 1 ).
Namun apabila tidak tercapai sepakat maka ditunjuk mediator ( ayat 2 ) dan apabila tidak terjadi penyelesaian BUMN akan menunjuk mediator kembali ( ayat 3 ), lalu kalau tetap jalan buntu harus di selesaikan dengan itikad baik.
Dari ke 4 aturan tentang sengketa tidak ada satupun ketentuan masalah pidana, perdata dan arbitrase.
Sehingga saya menganggap UU ini adalah UU yang paling gila yang pernah ada.
Karena menurut kebiasaan seperti juga yang terdapat dalam hukum perikatan dalam buku 3 KUHPerdata dan ini tercermin pada bidak pasal 87 huruf F.
Kesepakatan kesepakatan yang tidak dapat diselesaikan selain menggunakan aturan seperti dituangkan pasal 87 huruf F uu 1/ 2025, ayat 1, 2, 3 dan 4 tidak ada ruang merujuk kepada lembaga peradilan baik apakah itu Peradilan Perdata maupun Arbitrase.
Jujur sebagai orang praktisi (lawyer) saya dibuat terhenyak dengan kondisi UU ini.
Karena dalam uu perikatan pastinya akan ditemukan peristiwa hukum apakah itu wanprestasi, PMH (Perbuatan Melawan Hukum) peristiwa pidana yang menyertai dalam kesepakatan.
Karena menurut hukum, apabila suatu hal terjadi kebuntuan maka suka dan tidak suka terakhir muaranya ke Pengadilan.
Sehingga dengan tidak menggunakan saluran pengadilan metode penyelesaian apa yang akan diambil untuk menuntaskan kebuntuan tadi sebagai jalan keluarnya.
Memang ada yang menarik dalam uu ini yaitu, titik puncak penyelesaian diletakkan pada kalimat ITIKAD BAIK ( Good Fait ). Sehingga peran dari prinsip itikkad baik dalam uu ini mempunyai peran sangat besar terkait penyelesaian masalah masalah bisnis.
Dalam hasanah hukum, Itikad baik berada dilapangan hukum perikatan (van verbantenis), buku III KUHPerdata dan merupakan jiwa dari civil law (sistem hukum) yang berlaku di Indonesia bahkan dari catatannya Itikad baik telah diserap pada hukum yang menganut common law.
Itikad baik sesuatu prinsip hukum dalam perjanjian yang harus dilandasi dengan kejujuran, ketulusan dan keterbukaan.
Menurut Prof Eggen seperti di kutip olen Prof Subekti dalam bukunya hukum perikatan - manusia (subyek hkm) itu dalam bertindak dipegang mulutnya dan seterusnya (een man een man een woord een woord) dan pandangan ini seperti di emplementasikan dalam pasal, 1313 dan 1338 KUHPerdata yang intinya semua perjanjian itu sah dan berlaku sebagai uu bagi mereka yang membuatnya.
Dan ujungnya, perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, sebagai sepirit dari psl. 1338 KUHPerdata.
Dari parameter kajian di atas jelas UU ini bukan UU sembarangan akan tetapi UU yang sangat mengedepankan hukum bisnis sebagai embrio kelahirannya.
Seperti juga kita ketahui Kementerian BUMN sebagai instrumen dari tata kelola sumber daya alam dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan orang banyak adalah bagian dari matarantai bisnis yang sangat mungkin terjadi dimana dalam perannya negara harus menggandeng pihak luar ( swasta dan atau negara dengan negara/ G to G ) dan semua itu apart penegak hukum utamanya KPK dan apart hukum lain -harus- diluar gelanggang karena itu juga barangkali yang dapat menjamin kedudukan investor atau pihak ke tiga sebagai mitra kerja.
Karena dalam hukum bisnis semua pihak pastinya mengedepankan keuntungan satu sama lain.
Sehingga apabila diambil parameter hukum yang kiblatnya UU Tipikor akan menjadi sulit untuk menuju persaingan di pasar global, sedangkan sumber kekayaan alam kita yang besar, emas, nikel minyak dll sebagai ujung tombak untuk menjadi sumber devisa negara yang bermuara kepada kepentingan rakyat.
Dan semua itu untuk menuju pecapaian kerja BUMN. Namun dari keadaan keadaan itu kita tidak dapat lepas dari pada spirit negara adalah berdasarkan hukum (rechtsstaat) bukan kekuasaan (machtsstaat).
Atas dasar itu pendekatan pada hukum bisnis sebagai penjawantahan dari UU ini dan melepaskan hukum pidana masih kurang tepat, karena pijakan pada - itikad baik - bukan menjadi jaminan bahwa semua pihak akan baik baik saja yang berujung pada ketidak pastian akan masalah masalah yang terjadi kemudian tentang adanya suatu tindak pidana baik apa itu korupsi maupun tindak pidana umum lainya terkait dalam hubungan kerja yang dapat merugikan keuangan negara.
(*)
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.