Tribunners / Citizen Journalism
Ada Mangga Dua di Washington DC
PENERAPAN tarif resiprokal kepada 57 negara oleh Presiden Trump menjadi menarik bagi Indonesia karena mengaitkan pada satu nama kelurahan
Editor:
Dodi Esvandi
Oleh: Teddy Anggoro
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia
PENERAPAN tarif resiprokal kepada 57 negara oleh Presiden Trump menjadi menarik bagi Indonesia karena mengaitkan pada satu nama kelurahan di wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta yaitu Mangga Dua.
Meskipun lebih tepat jika Mangga Dua sebut sebagai sebuah pasar yang menjual banyak barang (heterogen market), mulai dari barang-barang elektronik sampai pakaian.
Mangga dua sendiri masuk dalam laporan United States Trade Representative (USTR) yang berkantor pusat di Washington DC dengan judul “2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barrier of the President of the United States on the Trade Agreement Program”.
Laporan ini merupakan seri laporan rutin, terhitung merupakan laporan ke 40 yang dipublikasikan, melakukan kajian dan penelitian hambatan perdagangan luar negeri yang signifikan bagi ekspor, investasi langsung, dan perdagangan elektronik Amerika Serikat.
Laporan tersebut menjadi salah satu senjata Amerika Serikat dalam forum negosiasi penerapan tarif resiprokal dengan Indonesia.
Meskipun Airlangga Hartarto menegaskan isu Mangga Dua tidak menjadi bagian dalam negosiasi yang sedang berjalan, tetapi isu tersebut tidak berarti tidak signifikan bagi Amerika Serikat.
Karena pada tahun 2024 Amerika Serikat telah menempatkan Mangga Dua ke dalam daftar 2024 Review of Notorious Market for Counterfeiting and Piracy (Notorious Market List).
Artinya Mangga Dua merupakan pusat perdagangan barang tiruan dan bajakan yang melanggar kekayaan intelektual di Indonesia.
Masalah Penegakan Hukum Kekayaan Intelektual
Kekayaan intelektual di Indonesia memiliki penyakit tetap (permanent disease) yaitu penegakan pelanggaran kekayaan intelektual.
Upaya penegakan hukum di bidang ini telah berlangsung sejak awal tahun 2000-an dengan dukungan berbagai institusi dan lembaga internasional seperti Bussines Software Alliance yang fokus pada pemberantasan software bajakan, tetapi upaya ini tidak pernah mendapatkan hasil signifikan dikarenakan faktor integritas dan konsistensi, serta terkadang ego sektoral dalam penegakan hukum.
Hal ini yang ditekankan USTR dalam laporannya tersebut, bukan hanya isu pemalsuan dan pembajakan hak cipta dan merek, lebih dari itu permasalahan pelanggaran unfair commercial use produk kimia farmasi dan agrikultur sering terjadi ketika suatu subyek hukum mendapatkan keuntungan finansial dari paten milik orang lain tanpa izin.
Hal ini banyak terjadi dalam penanganan Covid 19 beberapa waktu lalu, Pemerintah memberikan izin wajib (compulsory licencing) paten milik perusahaan obat Amerika Serikat kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang farmasi untuk memproduksi obat dari paten tersebut, ketimbang memilih jalan bernegosiasi dengan pemegang paten untuk mendapatkan lisensi.
Fakta tersebut memang memiliki justifikasi dari sisi kemanusiaan dan kedaulatan negara, tetapi tetap menjadi permasalahan ekonomi bagi Amerika Serikat.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Presiden Prabowo Panggil Sejumlah Menteri ke Istana Bahas Masalah Energi |
![]() |
---|
Menko Airlangga: Pemerintah Perlu Kebijakan Inklusif untuk AI |
![]() |
---|
Rincian 8 Program Paket Stimulus Ekonomi 2025 Prabowo: Termasuk Magang Bergaji untuk Fresh Graduate |
![]() |
---|
Bantuan Beras 10 Kg Oktober-November 2025, Begini Cara Cek Penerimanya |
![]() |
---|
Dari Bantuan Beras hingga Diskon Iuran BPJS, Ini Rincian Paket Ekonomi 8+4+5 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.