Tribunners / Citizen Journalism
Fenomena Sertifikat Tanah Ganda dan Kepastian Hukum oleh Negara
Sertifikat tanah dan warkah merupakan arsip vital yang memiliki nilai hukum tinggi dan harus dijaga integritas, keamanan, dan keteraksesannya.
Pernyataan sebagian bahwa lembaga pertanahan hanya bersifat sebagai pencatat data administratif perlu dilihat kembali secara lebih cermat.
Badan Pertanahan Nasional (BPN), sebagai institusi negara yang memiliki kewenangan strategis, seharusnya berperan aktif dalam menjamin keabsahan, validitas, dan keutuhan dokumen yang digunakan dalam penerbitan sertifikat.
Ketentuan ini dikuatkan dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Ayat (1) menyatakan bahwa sertifikat sebagai tanda bukti hak memiliki kekuatan hukum yang “kuat” selama data fisik dan yuridis yang tercantum di dalamnya sesuai dengan yang terdapat dalam surat ukur dan buku tanah.
Ayat (2) menambahkan bahwa apabila seseorang memperoleh tanah dengan itikad baik dan telah menguasainya secara nyata selama lebih dari lima tahun tanpa ada keberatan yang diajukan, maka klaim dari pihak lain tidak dapat lagi digunakan untuk menggugat hak atas tanah tersebut.
Ketentuan ini menegaskan bahwa proses verifikasi dan kehati-hatian dalam penerbitan sertifikat menjadi fondasi utama bagi validitas hukum hak atas tanah.
Terlebih jika penerbitan sertifikat dilakukan atas dasar dokumen yang kemudian melalui putusan pengadilan terbukti palsu, maka tindakan tersebut harus dinilai cacat secara hukum administrasi.
Hal ini sejalan dengan Pasal 66 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa pejabat berwenang dapat membatalkan keputusan administrasi apabila terbukti terdapat cacat hukum, baik dari sisi kewenangan, prosedur, maupun substansi.
Selain itu, prinsip-prinsip yang tertuang dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 17 jo.
Pasal 10 undang-undang yang sama, mengamanatkan bahwa setiap keputusan pemerintahan harus memenuhi asas kepastian hukum, kecermatan, serta tidak menyalahgunakan wewenang.
Oleh karena itu, penerbitan sertifikat ganda tanpa verifikasi yang memadai berpotensi melanggar terhadap prinsip-prinsip dasar tersebut.
Ketika ada potensi dari lembaga yang berwenang mengurusi pertanahan menyatakan bahwa dokumen pendukung seperti warkah tidak dapat ditemukan atau dinyatakan hilang, maka situasi ini semestinya menjadi alarm atau warning reminder akan lemahnya sistem pengelolaan arsip pertanahan.
Sertifikat tanah dan warkah merupakan arsip vital yang memiliki nilai hukum tinggi dan harus dijaga integritas, keamanan, dan keteraksesannya.
Berdasarkan Pasal 3 huruf b dan c UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, pengelolaan arsip bertujuan “menjamin” tersedianya arsip autentik dan terpercaya sebagai alat bukti yang sah serta “menjamin” perlindungan terhadap hak keperdataan rakyat.
Pasal 83 dalam undang-undang tersebut secara eksplisit menegaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja tidak menjaga keutuhan, keamanan, dan keselamatan arsip negara yang terjaga untuk kepentingan negara dapat dikenai sanksi pidana.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pengumuman Hasil Seleksi STPN Segera Diumumkan 7 Juli 2025, Berikut Link dan Alur Seleksinya |
![]() |
---|
Menteri ATR Nusron Wahid Sebut 15.977 Pulau Kecil Tidak Bersertifikat, 17 Belum Teridentifikasi |
![]() |
---|
Mediasi Sengketa Tanah: Solusi atau Jalan Pintas Menutupi Masalah? |
![]() |
---|
KPK Kembali Panggil Dirjen PTPP Kementerian ATR/BPN Embun Sari di Kasus Korupsi Lahan Rorotan |
![]() |
---|
Sekjen KAHMI Sebut Ketahanan Pangan Bisa Jadi Tameng Indonesia Hadapi Krisis Global |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.