Tribunners / Citizen Journalism
Fenomena Sertifikat Tanah Ganda dan Kepastian Hukum oleh Negara
Sertifikat tanah dan warkah merupakan arsip vital yang memiliki nilai hukum tinggi dan harus dijaga integritas, keamanan, dan keteraksesannya.
Fenomena Sertifikat Tanah Ganda dan Kepastian Hukum oleh Negara
Oleh:
IGN. AGUNG Y. ENDRAWAN, SH, MH, CCFA
Analis Hukum, mantan Analis Senior Hukum OJK, mantan Direktur Kebijakan Bakamla, Mahasiswa S3 Kebijakan Publik
KASUS tumpang tindih sertifikat tanah yang dialami oleh Ibu Anni Sri Cahyani di pemberitaan media internet, merupakan cerminan nyata tantangan mendasar dalam sistem tata kelola pertanahan nasional.
Peristiwa ini bukanlah kejadian yang bersifat insidental. Di berbagai wilayah, kasus serupa turut terjadi.
Penulis sendiri dan seorang warga bernama Sandi, turut mengalami kondisi serupa, yaitu munculnya dua sertifikat atau klaim hak atas bidang tanah yang sama.
Fenomena ini memperlihatkan, persoalan sertifikat ganda bukan semata persoalan teknis administrasi, melainkan gejala dari persoalan struktural yang perlu mendapatkan perhatian serius.
Apabila informasi yang disampaikan Ibu Anni benar, kalau dirinya memegang sertifikat yang sah dan lebih dahulu diterbitkan oleh instansi resmi yang berwenang, namun kemudian muncul sertifikat lain atas objek yang sama yang didasarkan pada dokumen yang terbukti melalui pengadilan pidana ada perbuatan pemalsuan, maka wajar bila muncul pertanyaan dari publik mengenai “rasa keadilan” dalam menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah bagi warga negaranya sebagaimana mandat konstitusi.
Situasi ini tidak hanya menimbulkan kerugian administratif atau materiel, tetapi juga dapat menggoyahkan kepercayaan publik terhadap prinsip negara hukum (rechtstaat).
Secara nalar hukum, dua sertifikat yang sah tidak dapat diterbitkan atas bidang tanah yang sama.
Artinya, salah satunya mesti dinyatakan tidak berlaku.
Keberadaan dua klaim yang dilegitimasi oleh lembaga yang sama pada objek yang identik menciptakan ketidakpastian hukum yang tidak dapat dibenarkan.
Mengacu pada Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), pendaftaran tanah dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum.
Kata “menjamin” tentu bukan sekadar prosedur administratif, melainkan mencakup tanggung jawab substantif untuk memastikan bahwa setiap dokumen dan data pertanahan yang digunakan dalam proses pendaftaran adalah sah, valid, dan tidak mengandung potensi sengketa di kemudian hari, sepanjang dimaknai dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pengumuman Hasil Seleksi STPN Segera Diumumkan 7 Juli 2025, Berikut Link dan Alur Seleksinya |
![]() |
---|
Menteri ATR Nusron Wahid Sebut 15.977 Pulau Kecil Tidak Bersertifikat, 17 Belum Teridentifikasi |
![]() |
---|
Mediasi Sengketa Tanah: Solusi atau Jalan Pintas Menutupi Masalah? |
![]() |
---|
KPK Kembali Panggil Dirjen PTPP Kementerian ATR/BPN Embun Sari di Kasus Korupsi Lahan Rorotan |
![]() |
---|
Sekjen KAHMI Sebut Ketahanan Pangan Bisa Jadi Tameng Indonesia Hadapi Krisis Global |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.