Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Ada Apa Presiden Iran Ebrahim Raisi Berkunjung ke Pakistan?

Presiden Iran Ebrahim Raisi berkunjung ke Pakistan di tengah ketegangan konflik Iran-Israel dan Israel-Palestina.

AFP/ATTA KENARE
Presiden Iran Ebrahim Raisi (tengah) menghadiri parade militer bersama para pejabat tinggi dan komandan dalam upacara memperingati hari tentara tahunan negara itu di Teheran pada 17 April 2024. (ATTA KENARE/AFP) 

Hubungan ekonomi dagang Iran-Pakistan cukup menggiurkan, terutama menyangkut ekspor impor bahan bakar gas cair (LPG) dan minyak mentah.

Iran pun sejak lama diketahui menyediakan pasokan listrik ke Provinsi Balochistan dan daerah perbatasan lainnya di Pakistan.

Pada Mei 2023, PM Sharif dan Raisi meresmikan pasar perbatasan pertama di perlintasan perbatasan Mand-Pishin.

Selain itu, kedua negara bertetangga ini memiliki ikatan budaya dan agama yang erat, dengan puluhan ribu warga minoritas Syiah dari Pakistan pergi ke Iran setiap tahun untuk ziarah.

Namun, Zaidi dari Tabadlab mengatakan ikatan budaya yang sama dan perbatasan yang panjangnya  900 km (559 mil), belum menghasilkan pertukaran mendalam.

Perdagangan sebagian besar berada di luar ranah formal dan perjalanan warga Pakistan ke Iran dibatasi pada tujuan wisata religi.

Pakistan masih sulit bergerak memformalkan hubungan bisnis kedua negara, akibat tekanan  kuat Washington.

Kedua negara sudah lama ingin membangun jaringan pipa untuk mengekspor gas alam Iran ke Pakistan.

Tapi proyek strategis ini terhenti akibat penentangan AS,  yang telah menjatuhkan aneka sanksi terhadap Teheran.

Raisi mungkin menyinggung kelanjutan proyek pipa gas Pakistan-Iran itu, tapi suit berharap Pakistan mampu mengelak dari pengaruh AS dan Inggris.

Tentang masalah konflik di Timur Tengah, sebagai bagian kekuatan Islam dunia, Pakistan menyerukan pengurangan ketegangan atau deeskalasi konflik.

Seruan sama disampaikan pada 14 April, sehari setelah serangan Iran terhadap Israel. Pernyataan tersebut menganggap serangan Iran sebagai konsekuensi gagalnya diplomasi.

Bahasa itu secara halus mengindikasikan Pakistan memahami keputusan Iran menyerang langsung Israel sebagai balasan atas pembunuhan dua jenderal Iran di Suriah.

Soal agresi Israel ke Jalur Gaza, Pakistan menggarisbawahi perlunya upaya internasional untuk mencegah permusuhan lebih lanjut di wilayah tersebut dan gencatan senjata di Gaza.

Pernyataan itu cukup normatif, dan bahasa yang sama digunakan sejumlah pemimpin internasional lain.

Pakistan tidak berposisi seperti elite Houthi Yaman yang memuji Iran, dan menyerukan serangan lebih kuat ke Israel.

Pakistan sejauh ini tidak mengakui Israel sebagai negara, dan tidak memiliki saluran komunikasi langsung dengan Israel.

Apakah kedatangan pemimpin Iran akan mengubah sikap dan pendirian Pakistan? Sepertinya tidak gampang karena sifat ketergantungan Pakistan ke barat maupun kekuatan negara Arab.

Dalam konteks konflik Yaman, Pakistan pernah menerima efeknya yang kuat ketika menolak bergabung di pasukan koalisi Arab yang digalang Saudi untuk menggempur Houthi Yaman.

Penolakan Pakistan itu memicu kemarahan penguasa Saudi, dan berdampak ke konflik politik internal di Pakistan.

Inilah mengapa Pakistan ada di posisi yang tidak mudah. Islamabad mungkin akan memilih tetap berada di tengah, supaya terhindar dari persekusi kekuatan hegemonik, baik AS maupun Arab.

Menjaga hubungan baik dengan Iran tanpa transaksi dagang yang normal bisa membantu mempertahankan ekonomi domestik.

Sementara berbaik-baik dengan China bisa menaikkan posisi tawar Pakistan terhadap kekuatan yang memusuhi Tiongkok.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved