Tribunners / Citizen Journalism
Mengingat Kembali Pangkal Persoalan Rohingya: Kekerasan Harus Dihentikan
Gelombang pengungsian ini tidak akan terjadi apabila kekerasan tidak terus berlangsung di Myanmar. Kekerasan harus segera dihentikan.
Maung Zarni (European Centre for the Study of Ekstremism) menegaskan bahwa ARSA bukanlah teroris melainkan sekumpulan orang-orang putus asa yang memutuskan melawan tiran dan melindungi warga Rohingya yang puluhan tahun hidup dalam kesengsaraan.
Gerakan Kebencian
Cukup banyak penyebar kebencian yang bekerja mengenalkan, menyebarkan dan memupuk kebencian atas Rohingya yang notabene mayoritas penganut Muslim. Adalah Wirathu, seorang biksu yang menjadi pentolan pada gerakan anti-Islam. Ia mempunyai andil terhadap seruan persekusi atas kelompok agama minoritas, khususnya Rohingya.
Cara yang ia lakukan beragam, salah satunya adalah membuat propaganda anti-Rohingya di Facebook yang isinya ajakan mengusir warga Rohingya.
Pada Juli 2013 sosoknya menjadi sampul majalah TIME dengan tajuk “Wajah Teror Buddhis”. Sosok ini telah memperkenalkan ultranasionalisme yang dibalut bungkus agama. Sosok ini sangat lekat dengan seruan persekusi kelompok agama minoritas khususnya Rohingya.
Ia menjadi biksu sejak usia 14 tahun. Karirnya sebagai bisku semakin mentereng sejak menjadi pentolan Gerakan 969 yang dimulai sejak tahun 2001. Gerakan ini terbentuk dan membesar karena persepsi bahwa Muslim di Myanmar mempunyai misi khusus dalam mendirikan negara khilafah.
Ia mengklaim orang-orang Islam di Myanmar tak terkecuali Rohingya sedang membesarkan diri sehingga menjadi ancaman yang menggerogoti nilai-nilai Budha dan negara Myanmar.
Kebenciannya pun tak sekedar kata-kata tanpa makna karena ia sangat aktif menuangkan bahan bakar kepada masyarakat Myanmar untuk memboikot produk dan toko-toko milik muslim.
Pada 2003 ia divonis 25 tahun penjara, karena akibat hasutan kebencian anti Islam yang ia prakarsai, telah menyebabkan tewasnya 10 (sepuluh) orang muslim. Namun tak lama berselang, ia pun dibebaskan.
Pasca gerakan ARSA tahun 2017 pun, Wirathu memainkan sentimen anti Rohingya secara total. Salah satu senjata andalannya adalah facebook. Melalui platform ini ia menjaring puluhan ribu pendukung dan kelompok militan. Konten-kontennya berisi ajakan mengusir, menyudutkan dan menegaskan sebagai kelompok berbahaya.
Intinya segala bentuk disinformasi yang mendorong publik menyimpulkan bahwa etnis Rohingya ini jahat dan berbahaya. Ia pun menegaskan bahwa ihwal pengusiran baik yang dilakukan oleh Junta Militer maupun publik adalah bentuk nasionalisme. Propagandanya melalui facebook, terlanjur menyebar dan membangkitkan sel-sel kelompok biksu ektremis lainnya.
Pada 2019, ia kembali didakwa melakukan penghasutan kepada pemerintahan sipil Myanmar di bawah komando Aung San Suu Kyi dan NDL nya. Namun dua tahun kemudian ia dibebaskan junta militer setelah berhasil mengkudeta pemerintahan Suu Kyi. Tak hanya dibebaskan dari segala dakwaan, Wirathu bahkan diganjar penghargaan Thiri Pyanchi dan dinyatakan berkontribusi pada persatuan dan kesatuan Myanmar.
“Tak Ada Jalan Lain Selain Mencari Tempat Berlindung….”
Pengungsian warga Rohingya tak terelakkan. Tindak persekusi dan kekerasan selama puluhan tahun dan tidak diberikannya status kewarganegaraan (stateless), sesungguhnya telah menyudutkan warga Rohingya dan tidak lagi menemukan tempat berlindung bahkan di negaranya sendiri.
Tak ada jalan lain selain meninggalkan negeri asalnya dan mengadu nasib di negeri-negeri asing yang mungkin belum pernah dikunjungi seumur hidup mereka.
PBB mencatat sedikitnya 1.752 pengungsi Rohingya yang sebagian besar merupakan perempuan dan anak-anak, telah tiba di Indonesia sejak pertengahan November 2023 hingga akhir Januari 2024. PBB mengatakan lonjakan kali ini adalah arus masuk terbesar sejak tahun 2015.
PBB juga mengatakan bahwa lebih dari 3.500 warga Rohingya diyakini telah melakukan perjalanan penuh risiko ke negara-negara Asia Tenggara pada tahun 2022 dan hampir 1.000 warga Rohingya dilaporkan meninggal dunia atau hilang sejak awal tahun 2022, dalam percobaan menyeberang laut yang berbahaya.
Di Malaysia, lebih dari 100.000 pengungsi Rohingya hidup sebagai masyarakat yang terpinggirkan. Banyak dari mereka bekerja secara ilegal di bidang konstruksi dan pekerjaan berupah rendah lainnya.
Data United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization for Migration (IOM) menyebutkan, secara akumulatif kurang lebih 1,5 juta orang Rohingya telah mengungsi sejak tahun 1970 dan jumlahnya terus meningkat secara signifikan pasca konflik meledak tahun 2017.
Sejumlah 900 ribu sd 1 juta orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh, 153.000 orang mendarat di Malaysia, 850.000 orang Rohingya mengungsi di negaranya sendiri (Myanmar), 50.000 orang melarikan diri ke India, masing-masing 5000 orang ke Thailand dan Australia serta 1000 orang melarikan diri ke Indonesia.
Bangladesh bukanlah tujuan ideal pengungsian. Faktor geografis yang dekat dengan Myanmar membuat Bangladesh menjadi tujuan pengungsian yang realistis. Tidak perlu menyebrangi lautan dan tinggal menuju ke perbatasan. Lokasi pengungsian berpusat di Cox’s Bazar dan telah dibangun 33 kamp pengungsian. Telah menampung lebih dari 900.000 orang.
Cox’s Bazar jauh dari kata layak, sanitasi buruk, air yang dipakai untuk kebutuhan sehari-hari terkontaminasi dengan bakteri. Tak sedikit yang terjangkit diare dan mengalami keracunan.
Pada 2017, tercatat 10 (sepuluh) pengungsi yang tewas akibat difteri, sekitar 200.000 orang menempati rumah yang rawan hancur apabila cuaca berubah buruk. Lokasi ini tergolong sangat padat, Pemerintah Bangladesh sendiri mengaku kewalahan dengan intensifnya arus pengungsian dan bersepakat dengan Pemerintah Myanmar untuk melakukan repatriasi atau pengembalian pengungsi secara bertahap.
Namun ini pun persoalan lain, mereka mengalami trauma dan ketakutan bakal dipersekusi untuk kesekian kali apabila kembali ke negaranya.
Di titik ini banyak pengungsi Rohingya mencari jalan lain dengan mencari lokasi pengungsian di negara-negara sekitar Asia Tenggara termasuk Indonesia. Tentu saja dengan bertaruh menjadi korban human trafficking atau tenggelam di laut lepas. Bahkan potensi penolakan dan mengalami pengusiran pun sangat mungkin terjadi.
Bantahan Pemerintah Myanmar
Gambia, sebuah negara kecil di Afrika barat yang mayoritas penduduknya Muslim, telah membawa kasus Rohingya ke International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional atas nama puluhan negara Muslim lainnya.
Misi pencari fakta PBB yang menyelidiki tuduhan tersebut, menemukan bukti menarik yang menyatakan bahwa tentara Myanmar harus diselidiki untuk tuduhan genosida terhadap Muslim Rohingya di Rakhine.
Laporan hasil penyelidikan menyoroti berbagai temuan misi internasional independen yang mengungkap adanya "pelanggaran HAM berat dan pelanggaran yang diderita Muslim Rohingya serta minoritas lainnya" oleh pasukan keamanan Myanmar yang digambarkan sebagai "kejahatan paling berat di bawah hukum internasional". Temuan Tim PBB ini tentu saja dibantah oleh Pemerintah Myanmar.
Bantahan tersebut tidak menyurutkan Majelis Umum PBB dalam menerbitkan resolusi terkait nasib warga Rohingya. Resolusi disahkan pada 27 Desember 2019 oleh total 134 negara dari 193 negara anggota, sembilan suara menentang dan 28 lainnya abstain.
Resolusi PBB tersebut mengutuk pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Rohingya dan minoritas lainnya di Myanmar, menyerukan agar Myanmar menghentikan hasutan kebencian terhadap minoritas Rohingya dan kelompok minoritas lainnya, mendorong perlindungan terhadap semua kelompok, dan menjamin keadilan bagi semua korban pelanggaran hak asasi manusia.
Resolusi tersebut juga menyatakan kekhawatiran atas membanjirnya orang-orang Rohingya ke Bangladesh yang disebut sebagai “akibat kekejaman pasukan keamanan dan bersenjata Myanmar".
Kendati Resolusi Majelis Umum PBB ini telah secara jelas mengungkap tindak pelanggaran yang dilakukan Tentara Myanmar dan harapan penanganan yang harus segera diakukan oleh Pemerintah Myanmar, namun tidak berarti persoalan selesai. Pasalnya, Resolusi Majelis Umum PBB tidak mengikat secara hukum namun mencerminkan pendapat dunia.
Oleh karenanya aksi nyata masih sangat diperlukan. Pada level pergaulan dunia, baik di level regional maupun internasional, diplomasi masih terbukti mempunyai dampak. Pada konteks ini upaya advokasi khususnya melalui konsolidasi lembaga-lembaga dunia masih dibutuhkan, antara lain melalui forum ASEAN, OKI dan seterusnya.
ASEAN mempunyai akses untuk menekan Myanmar agar segera menghentikan aksi kekerasan atas warga Rohingya dan kaum minirotas lain. Bahkan dapat mempertimbangkan pembekuan keanggotaan negara Myanmar di ASEAN apabila dalam waktu yang dipandang cukup, kekerasan tidak juga dihentikan.
Langkah selanjutnya adalah mendesak Pemerintah Myanmar segera memformulasikan solusi baik jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
Harapannya, warga Rohingya tidak lagi merasa tidak aman dan merasa perlu meninggalkan negaranya. Terkait para pengungsi yang sudah meninggalkan negaranya, perlu pula dipikirkan kelangsungan hidup mereka sehingga dapat kembali atau berdamai dengan kondisi dan situasi warga lokal di tempat baru. Konsolidasi ini sangat mungkin dilakukan, terlebih negara-negara tujuan masih terikat dalam komunitas regional Asean dan Asia Pasifik.
Pulau Bagi Warga Rohingya?
Indonesia memang belum meratifikasi ‘The 1951 Refugee Convention’ namun Indonesia memiliki legal framework bagi pemberian suaka atau perlindungan kepada para pengungsi.
Sebut saja Sila kedua Pancasila, Pasal 28G UUD 1945 (mengakui hak untuk memberikan suaka bagi semua orang), dan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 (mengatur penanganan pengungsi dari luar negeri al. menyediakan tempat penampungan bagi mereka terutama anak yang masuk dalam kategori pengungsi berkebutuhan khusus dan harus diberikan perawatan berdasarkan pada asas kepentingan terbaik).
Kesemua peraturan ini menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan kepada para pengungsi yang datang ke wilayah kedaulatan Republik Indonesia.
Mengabaikan para pengungsi tersebut, sama saja dengan tidak menjalankan konstitusi yang berlaku di negara kita sendiri.
Pada satu kesempatan, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) Perwakilan Indonesia menyebutkan bahwa Pengungsi Rohingya kerap menjadi sasaran kampanye kebencian yang terkoordinasi.
Juru bicara lembaga PBB ini juga menegaskan bahwa segala biaya yang disebabkan oleh para pengungsi akan ditanggung oleh UNHCR beserta para mitra dan tidak akan membebani pendanaan APBD maupun APBN.
Fenomena penolakan warga atas kedatangan para Pengungsi Rohingya seharusnya menjadi catatan terkait mekanisme apa yang dapat diterapkan untuk mengadvokasi para pengungsi ini. Pasalnya, terlalu sulit mengembalikan mereka ke negara asalnya. Namun perlu dipikirkan bagaimana Indonesia dapat menampung dan memberikan penghidupan kepada mereka atas nama kemanusiaan dan implementasi konstitusi.
Menempatkan masyarakat Etnis Rohingya pada suatu tempat/ kawasan khusus banyak diperbincangkan akhir-akhir ini. Lantas apakah langkah ini dapat dilakukan?
Ide ini pertama kali disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI meminta Pemerintah Indonesia menyiapkan satu Pulau untuk menampung pengungsi Rohingya bila memungkinkan.
Sebelumnya Wakil Presiden Ma’ruf Amin sempat mewacanakan Pulau Galang sebagai lokasi penampungan warga etnis Rohingnya mengingat sebelumnya sempat diperuntukkan sebagai tempat penampungan pengungsi asal Vietnam. Namun ide ini serta merta ditolak Menkopolhukam Mafud MD dan menyatakan tengah dipertimbangkan lokasi lain untuk menampung manusia perahu ini.
Akan tetapi momen pilpres telah menghentikan wacana ini. Semoga segera berlanjut dengan langkah berikutnya pasca Pilpres 2024. (Eva Nila Sari)
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Redmi 15 Siap Dijual 25 September: Layar 144Hz dan Baterai 7.000 mAh Jadi Senjata Utama |
![]() |
---|
229 Hotel di Bali Terancam Sanksi, KLH Ungkap Rapor Merah Pengelolaan Limbah |
![]() |
---|
Terhanyut di Madura: Cerita Warga Australia Temukan Cinta di Tengah Selawat Santri |
![]() |
---|
Pendaftaran BPI Beasiswa Pendidikan Indonesia untuk Guru serta Calon Guru D-4 atau S-1 |
![]() |
---|
Indonesia–Polandia Teken Perjanjian MLA: Langkah Strategis Berantas Kejahatan Lintas Negara |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.