Sabtu, 4 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Mengingat Kembali Pangkal Persoalan Rohingya: Kekerasan Harus Dihentikan

Gelombang pengungsian ini tidak akan terjadi apabila kekerasan tidak terus berlangsung di Myanmar. Kekerasan harus segera dihentikan.

CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP
Pengungsi Rohingya yang baru tiba berkumpul dan beristirahat di sebuah pantai di Laweueng, Kabupaten Pidie di provinsi Aceh, Indonesia pada 10 Desember 2023. Lebih dari 300 pengungsi Rohingya, sebagian besar perempuan dan anak-anak, terdampar di pantai barat Indonesia pada 10 Desember. pemerintah setempat membiarkan mereka dalam ketidakpastian tanpa adanya kepastian mengenai tempat berlindung 

Persoalannya, warga Rohingya sangat kesulitan memegang bukti pra tinggal sebelum tahun 1948 karena Pemerintah Junta Militer tidak memasukkan etnis Rohingya ke dalam 135 etnis resmi di Myanmar, dan negara memposisikan Rohingya sebagai penduduk Bangladesh yang masuk ke Myanmar secara ilegal.

Langkah ini didukung oleh kesepakatan repatriasi tahun 1979 antara Pemerintah Bangladesh dan Myanmar yang sesungguhnya merupakan pengembalian pengungsi Rohingya ke Myanmar karena ketidaksanggupan Pemerintah Bangladesh menampung para pengungsi tersebut.

Pada tahun 1990-an, etnis Rohingya diberi kartu identitas (white card) yang memberikan hak namun terbatas dan tidak berlaku sebagai bukti kewarganegaraan.

Singkat kata, sejumlah aturan yang telah diterbitkan tersebut telah menjauhkan etnis Rohingya dalam mengkases hak-hak kewarganegaraannya bahkan dalam bentuk yang paling dasar sekalipun.

Alhasil, pada titik tertentu Pemerintah berkuasa di Myanmar telah menempatkan etnis ini dalam posisi stateless.

Alhasil, Rohingya telah menjadi etnis terbesar di dunia yang tidak memiliki kewarnegaraan.

‘Perlawanan Itu Akhirnya Terjadi’

Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres telah menyatakan bahwa bencana kemanusiaan dalam bentuk genosida dan serangan brutal junta militer telah berlangsung di depan mata warga Rohingya. Kondisi ini telah menyebabkan ratusan ribu orang Rohingya mengungsi dari negaranya.

Yang tinggal pun tak sanggup lagi menahan derita yang sangat mendalam ini. Tak terhindarkan, Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) akhirnya melakukan serangan berdarah di sejumlah Pos Polisi dan Tentara pada tahun 2017.

Junta Militer Myanmar pun merespon keras serangan tersebut yang kemudian meluncurkan aksi balasan berskala besar. ARSA kemudian dinyatakan sebagai kelompok teroris.

Junta militer telah menyatakan sejumlah pembenaran tersebut untuk bertindak brutal, bahkan menarget warga sipil yang tidak terlibat apapun. Desa dibumihanguskan, warga sipil diperkosa, ditembak, disiksa, diculik, dibunuh.

Eksodus tak terelakkan. Pada gilirannya, PBB kemudian menyatakan Junta Militer telah menerapkan taktik genosida yang tentu saja dibantah oleh mereka.

ARSA adalah kelompok pemberontak yang berdiri tahun 2016. Sebelumnya menamakan diri Harakatul Yakeen. Aksi pertama dilancarkan pada tahun 2016 dengan menyerang 3 (tiga) pos polisi di Maungdaw dan Rathedaung. 9 (Sembilan) Polisi tewas pada aksi tersebut.

ARSA adalah reaksi atas tindak penindasan Pemerintah Myanmar terhadap warga Rohingya selama berpuluh-puluh tahun. ARSA hadir ingin membela warga Rohingya yang secara sistematis telah dijauhkan dari penikmatan hak-hak dasarnya.

Klaim keterkaitan ARSA dengan ISIS dan Al-Qaeda seketika dibantah. Pemimpin ARSA Ataullah Abu Amar Jununi, sekali lagi, menyatakan kalau itu propaganda yang menyudutkan perjuangan ARSA dan rakyat Rohingya.

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved