Tribunners / Citizen Journalism
Mengingat Kembali Pangkal Persoalan Rohingya: Kekerasan Harus Dihentikan
Gelombang pengungsian ini tidak akan terjadi apabila kekerasan tidak terus berlangsung di Myanmar. Kekerasan harus segera dihentikan.
Bagi warga Budha Myanmar hal ini dianggap sebagai bentuk ketidakadilan karena mereka menilai Inggris lebih membela orang Islam (Rohingya) dan di benak mereka, orang Islam merebut banyak hal di tanah Myanmar.
Tak pelak, gesekan etnis mulai terjadi di Burma.
Warga Budha semakin jengah dengan kondisi ini yang dikemudian hari terbukti menjadi bahan bakar untuk memerdekakan diri dari Inggris. Nasionalisme yang dibangun berdasarkan solidaritas sesama penganut Budha kian tumbuh dan menggelora menjadi api perlawanan yang terbukti telah membebaskan mereka dari cengkraman kolonialisme Inggris.
Bersamaan dengan itu, solidaritas berdasar agama ini juga turut menekan kelompok Rohingya yang diposisikan antagonis dan menjadi bagian dari kolonialisme Inggris.
Demonisasi atas Rohingya terjadi hanya berdasar asumsi bahwa mereka akan menguasai Myanmar karena dinilai hidup lebih makmur dan terus tumbuh ketimbang warga Budha Myanmar.
Pada perkembangannya, kebencian atas etnis Rohingya semakin membuncah, tak lain karena (lagi-lagi) persepsi supremasi agama bahwa tanah Myanmar hanya diperuntukkan bagi warga Budha seperti halnya kaum Hindu yang menguasai tanah India.
Persepsi kebencian semakin diintrodusir dan disebarluaskan paska kemerdekaan Myanmar dari Inggris bahkan cenderung menjadi komoditas politik.
Betapa tidak, rezim junta militer telah memanfaatkan sentimen kebencian ini untuk melanggengkan kuasa mereka hingga konflik berevolusi menjadi konflik etnis dan agama yang terus menerus memakan korban. Bagi Junta militer, isu Rohingya ternyata cukup efektif dalam menggalang dukungan masyarakat Budha di Myanmar.
Diskriminasi terhadap Rohingya lantas dilegalkan ke dalam bentuk aturan. Secara resmi mereka telah dinyatakan sebagai etnis yang tidak diakui oleh negara.
Hal ini dimulai sejak Jenderal Ne Win mengkudeta Perdana Menteri U Nu pada tahun 1962 dan memerintah Myanmar setidaknya hingga tahun 2011. Alhasil etnis Rohingya mengalami persekusi selama puluhan tahun bahkan hingga hari ini. Ironinya, hal ini terjadi hanya karena maraknya rumor yang diyakini sebagai kebenaran.
Stateless
Pasca memerdekakan diri dari Inggris pada tahun 1948, Pemerintah Burma menerbitkan aturan mengenai siapa saja pihak yang berhak mendapatkan status kewarganegaan dan etnis Rohingya menjadi pengecualian.
Lalu pasca kudeta militer pada tahun 1962, negara mewajibkan semua warga membawa akses kartu registrasi nasional (semacam KTP), dan warga Rohingya hanya mendapatkan kartu identitas warga asing yang membatasi mereka dalam mengkakses hak atas pekerjaan dan pendidikan.
Pada tahun 1982, Pemerintah Junta Militer Burma bahkan menutup kesempatan bagi warga Rohingya dalam mendapatkan status kewarnegaraan. Kala ini diterbitkan undang-undang yang mengatur tiga bentuk kewarganegaraan.
Untuk mencapai tingkat yang paling dasar yaitu naturalisasi, diperlukan bukti telah mendiami Myanmar sejak sebelum tahun 1948 dan fasih menguasai salah satu bahasa nasional.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Redmi 15 Siap Dijual 25 September: Layar 144Hz dan Baterai 7.000 mAh Jadi Senjata Utama |
![]() |
---|
229 Hotel di Bali Terancam Sanksi, KLH Ungkap Rapor Merah Pengelolaan Limbah |
![]() |
---|
Terhanyut di Madura: Cerita Warga Australia Temukan Cinta di Tengah Selawat Santri |
![]() |
---|
Pendaftaran BPI Beasiswa Pendidikan Indonesia untuk Guru serta Calon Guru D-4 atau S-1 |
![]() |
---|
Indonesia–Polandia Teken Perjanjian MLA: Langkah Strategis Berantas Kejahatan Lintas Negara |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.