Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Untung Masih Pakai PLTU

Banjir di Jakarta membuka mata kita semua. Ternyata banyak hal mesti kita lakukan

Editor: Widiyabuana Slay
zoom-inlihat foto Untung Masih Pakai PLTU
KOMPAS Images/ANDREAN KRISTIANTO
Perahu karet melintas di PLTU Muara Karang yang terendam banjir Jakarta Utara, Jum at (18/1/2013). Akibat banjir yang melanda Ibu Kota, PLTU Muara Karang terendam banjir setinggi 1,5 meter. Banjir mengakibatkan pembangkit listrik utama yang memasok sebagian wilayah Jakarta tersebut tidak dapat beroperasi optimal. KOMPAS IMAGES/ANDREAN KRISTIANTO

Jadi Jepang sendiri memang sudah mulai mundur diri dari penggunaan PLTN. Walikota Osaka Toru Hashimoto dengan tegas mengatakan, “Tak ada cara apapun bagi politisi yang dapat menjamin keamanan reaktor nuklir. Untuk itulah guna menghentikan reaktor nuklir, maka kita tak punya pilihan lain selain kita sendiri yang menghentikannya.”

Saat ini semakin banyak masyarakat Jepang menggunakan tenaga matahari, jauh lebih aman, resiko kecil terhadap manusia, dibandingkan 54 reaktor yang ada di 17 pembangkit listrik tenaga nuklir (aktif) di 10 wilayah Jepang.

Sementara Indonesia baru akan mulai menata diri, meningkatkan energinya, dengan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir, katanya untuk 30 mendatang bukan sekarang. Padahal banyak ahli nuklir di Jepang khusus menyampaikan kepada penulis, sebaiknya Indonesia menggunakan tenaga matahari, atau gas alam, seperti ungkap mantan Rektor Universitas Tama Tokyo, Gregory Clark, “Kalau Indonesia sangat pantas untuk masa depan menggunakan sumber daya alam yang berlimpah seperti gas atau matahari untuk pembangkit listriknya karena aman bagi kehidupan manusia,” paparnya.

Toshiso Kosako, professor Universitas Tokyo,  melihat pemerintah tidak transparan mengungkapkan tingkat radiasi di PLTN Fukushima dan bahkan peningkatan batas keamanan radiasi (radiation exposure) bagi lokasi bencana di PLTN Fukushima dari 10 mili sievert menjadi 20 mili sievert patut dipertanyakan. Sementara Kementerian Pendidikan dan Sains Jepang mengatakan batas 20 mili sievert itu masih aman.

Tahun 2000 Kei Sugaoka, warga Jepang keturunan Amerika berhasil menemukan dan melapor ke pemerintah Jepang bahwa telah terjadi keretakan pada system steam dryer di sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir Tepco. Badan Keamanan Industri Nuklir memberitahu hal itu dan nama Sugaoka ke Tepco. Akibatnya Sugaoka didaftar-hitamkan di industri nuklir Jepang. Namun akhirnya tahun 2002 Chairman dan Presdir Tepco mengundurkan diri serta berbagai direktur juga dipecat.

Kelakuan menutupi kejelekan Tepco dilakukan kembali lima tahun kemudian. Ada kebakaran di dalam PLTN milik Tepco dikatakan hanya kebakaran kecil. Nyatanya terungkap kebakaran selama dua jam sehingga ratusan gallon air radioaktif bocor masuk ke laut.

Kini keboborokan Tepco terungkap lagi sehingga 20 Mei 2011 Presdir Tepco Masataka Shimizu mengundurkan diri digantikan Direktur Pelaksana Toshio Nishizawa. Seorang petugas Tepco, usia 40an,  yang direkrut anak usaha Tepco, ternyata diberikan pakaian putih anti radiasi, yang mudah rusak. Mukanya disamarkan, namanya tidak diungkapkan TBS TV dalam wawancara terbukanya, karyawan itu mengatakan, “Saya hanya makan diberi makan ini saja dan gaji saya tidak jelas berapa dan kapan akan diberikan karena semua sangat sibuk di Tepco saat ini,” paparnya memperlihatkan makanannya seperti mi instant, roti hotdog, serta biscuit saja. Tidak ada nasi atau lauk pauk.

Hal yang sangat tidak layak dan tidak pantas di Jepang dengan perlakuan demikian, apalagi ketidakjelasan mengenai gaji atau honornya pula, bekerja di sebuah PLTN.

Kolusi industri nuklir, pemerintah dan ilmuwan juga dirasakan banyak ilmuwan nuklir di Jepang khususnya mengenai dana penelitian yang biasanya dari pemerintah atau dari kalangan industri nuklir Jepang. Bahkan belum lama kantor berita Kyodo sempat mendapat dokumen mengagetkan, tujuh lembaga pendidikan tinggi dapat dana, 1,7 miliar yen dari industri nuklir Jepang.

Ketidakberesan, kongkalikong di kalangan industri nuklir dan ketakutan inilah yang semakin mendorong rakyat Jepang menjadi anti nuklir saat ini. Sementara sumber tenaga lain sudah mulai digerakkan. Masyarakat Jepang mulai menjauhi nuklir, apakah Indonesia malahan mendekati nuklir dengan alasan kekurangan tenaga listrik guna pembangunan?

 Mungkin saatnya Indonesia berkaca kepada Jepang apa yang telah dialami dan apa yang akan dilakukan Jepang di masa mendatang. Energi yang cukup besar, tetapi dengan risiko yang besar, penggunaan  nuklir, dapat berdampak sangat berbahaya bagi kehidupan manusia di masa mendatang. Sedangkan banjir yang “mematikan” PLTGU di Muara Karang itu, “Untung Masih PLTGU!”  Apakah pemimpin Indonesia rela menjerumuskan rakyatnya di masa depan dengan memakai nuklir?

 *) Penulis adalah Koordinator Forum Jepang-Indonesia (JIEF), berdomisili lebih dari 20 tahun di Tokyo, Jepang.

TRIBUNNERS TERBARU


Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved