Sabtu, 4 Oktober 2025

Pajak Bumi dan Bangunan

Ikuti Langkah Pati, Masyarakat di Cirebon Bakal Gelar Demo Kenaikan PBB 1.000 Persen

Masyarakat Cirebon akan mengikuti langkah Kabupaten Pati yang berhasil membatalkan kenaikan PBB sebesar 250 persen. Mereka akan menggelar demo.

Tribun Cirebon/Eki Yulianto
LONJAKAN PBB CIREBON - Paguyuban Masyarakat Cirebon (PAMACI) menggalang dukungan masyarakat Kota Cirebon untuk menggalang aksi penolakan kenaikan PBB di daerahnya. 

"Pemerintah kota jangan ngejar-ngejar pajaklah. Masih banyak sektor lain yang harus dibenahi, contoh lima BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) kita, bobrok semua."

"Jadi itu yang mesti dipikirin dulu, jangan hanya pajak, pajak, dan pajak," jelasnya.

Berjuang Sejak Januari

Sementara itu, Juru Bicara Paguyuban Pelangi Cirebon, Hetta Mahendrati mengatakan, masyarakat telah memperjuangan terkait kenaikan PBB ini sejak Januari 2025.

Mereka berjuang melawan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024.

"Perjuangan kami sudah lama, sejak Januari 2024. Kami hearing di DPRD 7 Mei, turun ke jalan 26 Juni."

"Lalu 2 Agustus ajukan judicial review. Desember kami dapat jawaban, JR kami ditolak," ujar Hetta, Rabu (13/8/2025) malam, dilansir TribunCirebon.com

Bahkan, warga juga telah mengadu ke Presiden Prabowo Subianto, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 15 Januari 2025.

Hetta menuturkan, kenaikan PBB berdasarkan Perda tersebut berlaku merata, dengan kisaran minimal 150 persen hingga 1.000 persen.

Ia mencontohkan, seorang warga bernama Suryapranata harus menanggung kenaikan 1.000 persen, sedangkan warga lain bernama Kacung mengalami kenaikan 700 persen.

Baca juga: Sudewo, Kenaikan PBB 250 Persen, Dugaan Terima Aliran Dana DJKA hingga Teguran Gerindra

Bahkan, ada kasus ekstrem kenaikan 100.000 persen akibat kesalahan pemerintah, namun tetap dibebankan kepada warga.

"Orang itu sampai harus berutang ke bank untuk bayar PPHTB dan mengurus AJB (Akta Jual Beli). Apakah itu bijak?" jelas dia. 

PPHTB merupakan pajak penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan.

Secara resmi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyebutnya sebagai PPh final atas PHTB.

Pemungutan PPh atas PHTB dikenakan dan dibayar oleh pihak penjual sebagai PPh final sebagai objek pajak pusat.

Ia menilai, kebijakan ini tidak masuk akal, apalagi ekonomi warga belum pulih pascapademi.

Halaman
123
Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved