Rabu, 1 Oktober 2025

Tambang Nikel di Raja Ampat

Pakar Hukum: Izin Tambang Nikel di Raja Ampat Dapat Dicabut karena Langgar Lingkungan dan Adat

Menurut dia, pertumbuhan ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam, harus diseimbangkan dengan komitmen melindungi kawasan konservasi.

IST/HO
POLEMIK IZIN TAMBANG - Pakar hukum Henry Indraguna mengatakan izin tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya dapat dicabut karena diduga melanggar izin lingkungan dan adat. 

TRIBUNNEWS.COM, PAPUA - Pakar hukum Henry Indraguna mengatakan izin tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya dapat dicabut karena diduga melanggar izin lingkungan dan adat.

Dari perspektif hukum dan legalitas, kata dia, dasar hukum bisa dicabut  jika ditemukan pelanggaran izin lingkungan (UU No. 32 Tahun 2009), tidak adanya persetujuan masyarakat adat (bertentangan dengan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012).

Baca juga: Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat, Dianggap Tak Beri Manfaat Warga Lokal, Didesak Disetop Permanen

"Potensi pelanggaran izin kawasan konservasi laut dan hutan lindung peerintah pusat melalui Kementerian ESDM punya alasan mencabut IUP jika terdapat pelanggaran Amdal atau dampak serius terhadap lingkungan," tuturnya dalam keterangannya pada Sabtu (7/6/2025).

Dia meminta pemerintah mengkaji ulang penerbitan izin usaha tambang (IUP) nikel di Raja Ampat, Papua Barat.  Tetapi tetap memperhatikan hak-hak hukum dari pemilik izin tambang (IUP).

Baca juga: Komisi III DPR Sebut Penegak Hukum Perlu Bertindak Usut Pelanggaran Tambang Nikel di Raja Ampat

"Raja Ampat merupakan kawasan konservasi laut dan destinasi prioritas nasional yang mesti dijaga dari ancaman kerusakan, khususnya logistik hasil tambang," ujarnya.

Dia menjelaskan pemerintah dan stakeholder lainnya, harus mengevaluasi kebijakan pertambangan yang berada dalam radius sensitif ekologi. Lokasi tambang ke smelter berdampak pada ekosistem laut, sehingga menjadi hal yang harus dikaji ulang.

Menurut dia, pertumbuhan ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam, harus diseimbangkan dengan komitmen melindungi kawasan konservasi.

"Saya mendorong kebijakan aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tapi juga kelestarian lingkungan dan masa depan. Aktivitas tambang nikel dapat memicu kerusakan alam dan  menyengsarakan masyarakat adat," ujarnya.

Kemudian Ketua DPP Ormas MKGR Prof Henry, pemberdayaan wilayah Raja Ampat sebagai Kawasan Lindung Permanen Pemerintah (ESDM & KLHK) dapat mendorong Perda atau Perpres penetapan Raja Ampat sebagai Kawasan Ekosistem Laut dan Darat yang Dilindungi Permanen. Menjadikan seluruh Raja Ampat zona eksklusif non-tambang, melainkan ekowisata dan konservasi.

Pemerintah sebaiknya menolak investasi tambang baru di wilayah konservasi dan mempromosikan Raja Ampat untuk investasi berbasis alam dan berkelanjutan, seperti: Eco-resort, Energi surya dan kelautan, Wisata bahari komunitas.

Langkah terbaik bagi pemerintah adalah bersikap tegas, transparan, dan berpihak pada keadilan ekologis dan masyarakat adat. Raja Ampat bukan hanya kawasan kaya mineral, tapi juga warisan dunia yang tak tergantikan.

Menurut Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar Prof Henry, status perizinan dan legalitas beberapa perusahaan telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah Raja Ampat.

Baca juga: Greenpeace Sebut Pernyataan Bahlil Sesat soal Tambang Nikel Raja Ampat Jauh dari Tempat Wisata

Namun, terdapat kekhawatiran bahwa beberapa izin tersebut dikeluarkan tanpa konsultasi yang memadai dengan masyarakat adat dan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan secara menyeluruh. 

"Dampak lingkungan dan sosialnya, aktivitas pertambangan di Raja Ampat  menimbulkan kerusakan ekosistem laut Raja Ampat yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Eksploitasi tambang dapat merusak terumbu karang dan habitat laut lainnya," Wakil Ketua Dewan Penasehat DPP AMPI Prof Henry.

"Ketidakterlibatan masyarakat adat dalam proses perizinan dapat memicu konflik sosial dan ketidakpuasan. Respon masyarakat adat aktivis lingkungan, dan pelaku pariwisata di Raja Ampat telah menyuarakan penolakan terhadap aktivitas pertambangan, dengan alasan ancaman terhadap kelestarian lingkungan. Mereka khawatir bahwa pertambangan akan merusak ekosistem yang menjadi sumber mata pencaharian dan identitas budaya mereka," tambah Doktor lulusan UNS dan Universitas Borobudur.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved