Program Makan Bergizi Gratis
3 Alasan SMKN 4 Yogyakarta Ogah Lanjutkan MBG: Bikin Repot Staf, Makanan Basi, hingga Siswa Trauma
Hadapi masalah-masalah dari pelaksanaan MBG di sekolah, SMKN 4 Yogyakarta enggan lanjut program perbaikan gizi nasional gagasan Prabowo Subianto itu.
Yang mana pada waktu jeda makan bisa mencapai empat sampai enam jam karena harus menunggu makanan datang, dibagikan, dan dicek ulang.
Hal tersebut mengganggu tugas-tugas utama staf dan guru.
“Misal, karyawan yang harusnya menyusun laporan keuangan jadi harus ngurus piring. Misalnya kami ambil 30 porsi per kelas, kalau jam 12 belum diambil, kami harus keliling cari. Kadang ketinggalan di kelas A atau B. Itu sering sekali terjadi,” ungkap Widiatmoko.
3. Buat Siswa Alami Trauma
Adapun dari sisi siswa, respons atas program MBG pun terbagi.
Ada yang merasa terbantu karena mendapat makan gratis, tetapi tidak sedikit yang justru memilih tidak menyentuh makanan tersebut karena trauma dengan kualitasnya.
“Ada yang pernah makan, lalu nemu ulat. Sejak itu nggak mau makan MBG lagi, sampai sekarang. Bahkan kalau dikasih makan di rumah masih mau, tapi kalau tahu itu dari MBG, langsung ditolak,” papar Widiatmoko.
Dengan berbagai permasalahan itu, pihak SMKN 4 Yogyakarta lantas tidak ingin melanjutkan program MBG pada tahun ajaran mendatang.
Terlebih, sekolah kini telah berstatus Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang memberikan kewenangan lebih besar dalam pengelolaan dana dan program internal.
“Harapannya setelah tahun ajaran baru, kami tidak menerima lagi MBG. Karena bagi kami ini sudah menjadi beban tambahan, bukan bantuan. Banyak yang mengeluh juga, karena omzet mereka turun akibat MBG,” kata Widiatmoko.
Baca juga: Mengapa Terjadi Keracunan MBG? Ahli Kesehatan Ungkap Kemungkinan Risiko yang Bisa Jadi Pemicu
Menurut Widiatmoko, anggaran MBG seharusnya dapat dialihkan untuk peningkatan fasilitas pendidikan, seperti penyediaan pendingin ruangan atau alat bantu belajar.
Dicontohkan Widiatmoko, jika satu kali makan bernilai Rp10.000 untuk 1.200 siswa, maka dalam satu hari anggaran yang dihabiskan mencapai Rp12 juta.
“Dengan Rp12 juta sehari, dalam satu hari kami bisa beli tiga unit AC. Kalau dipakai untuk memasang AC di kelas, suasana belajar jadi lebih nyaman. Murid dan guru juga sering bilang, kalau bisa milih antara AC atau makan MBG, mereka pilih AC,” terangnya.
Widiatmoko menyatakan bahwa program MBG memang dilandasi niat baik untuk membantu siswa dari segi pemenuhan gizi.
Namun, dalam pelaksanaannya, perlu dievaluasi ulang agar tujuan utama pendidikan tidak justru terganggu karena buruknya implementasi.
“Menurut saya, lebih baik anggaran MBG digunakan untuk sarana dan prasarana. Kalau mau tetap ada, harus ada pengawasan ketat dan pembagian tanggung jawab yang lebih jelas antara sekolah dan penyedia. Jangan semua beban dilempar ke sekolah,” tandasnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.