Senin, 29 September 2025

GIAMM: Perhitungan TKDN EV Terlalu Gampang, Dorong Insentif Berdasarkan Lokalisasi Nyata

aturan TKDN khusus untuk kendaraan listrik masih perlu diperketat agar benar-benar mendorong tumbuhnya industri komponen lokal.

Penulis: Lita Febriani
Editor: Sanusi
Lita Febriani/Tribunnews.com
KOMPONEN KENDARAAN - Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Alat-alat Mobil dan Motor (GIAMM) Rachmad Basuki saat ditemui Wartawan di Jakarta, Kamis (25/9/2025). Perhitungan TKDN untuk kendaraan listrik saat ini memberi nilai 30 persen hanya dari aktivitas perakitan (assembling). Padahal, hal itu belum mencerminkan lokalisasi yang nyata. (Tribunnews.com/Lita Febriani). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Alat-alat Mobil dan Motor (GIAMM) Rachmad Basuki, menilai aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) khusus untuk kendaraan listrik masih perlu diperketat agar benar-benar mendorong tumbuhnya industri komponen lokal.

Menurutnya, perhitungan TKDN untuk kendaraan listrik saat ini memberi nilai 30 persen hanya dari aktivitas perakitan (assembling). Padahal, hal itu belum mencerminkan lokalisasi yang nyata.

Baca juga: Libatkan Lebih dari 700 Pemasok Lokal, Toyota Indonesia Perkuat Produksi Mobil dengan TKDN Tinggi 

"Kalau perhitungan TKDN 40 persen, assembling saja sudah 30 persen. Jadi TKDN yang khusus untuk EV itu nge-assembling saja sudah 30 persen," terang Basuki kepada Wartawan di Jakarta, Kamis (25/9/2025).

Ia juga menyoroti perpanjangan tenggat aturan TKDN dari 2024 menjadi 2026, yang menurutnya berpotensi menimbulkan ketidakpastian.

"Harusnya 2024, karena BYD masuk jadi diperpanjang 2026. Tapi yang untuk produksi EV enggak hanya BYD, waktu itu Hyundai sudah produksi. Makanya ngebut buat pabrik. Ya konsistensi itu yang mestinya enggak pilih-pilih. Kalau 2024 berlaku ya 2024," ucapnya.

GIAMM sendiri mendorong agar insentif diberikan secara bertingkat berdasarkan capaian TKDN yang nyata, bukan hanya sekadar assembling.

Baca juga: Penerapan TKDN Sektor Migas Disebut Belum Optimal, Berpotensi Timbulkan PHK Massal

"Kalau maunya GIAMM, semakin TKDN tinggi itu semakin dikasih insentif. Tapi TKDN-nya yang benar. Jangan TKDN-nya assembling dinilai 30 persen. Itu juga kurang untuk lokalisasinya," kata Basuki.

Ia mencontohkan, TKDN seharusnya dihitung dari berapa banyak komponen yang benar-benar diproduksi di dalam negeri.

Misalnya melibatkan pabrik pelek, ban, bodi, hingga sistem kemudi yang diproduksi di Indonesia, bukan hanya dari aktivitas perakitan.

"Kalau misalkan Avanza TKDN 80 persen, artinya 80 persen komponennya itu harus disupply dari lokal. Jadi pabriknya banyak. Kalau misalkan hanya assembling 30 persen, saya impor saja. Untuk nyari yang 10 persen lagi pakai training-training. Itu kan sudah enggak ada lokalnya. Sudah gitu tapi ngomongnya TKDN," ungkap Basuki.

Basuki berharap bahwa aturan TKDN untuk kendaraan listrik seharusnya tidak dibuat terlalu mudah, agar mendorong industri dalam negeri 

"Mestinya yang normal saja yang namanya TKDN itu. Harusnya aturannya jangan terlalu gampang untuk BEV ini," ujarnya.

Selanjutnya, GIAMM mengakui bahwa pabrikan mobil listrik yang saat ini menikmati insentif impor belum ada yang bermitra dengan produsen komponen lokal. 

Akan tetapi, kabar mengenai produsen EV yang akan membawa produsen parts sendiri diharapkan tetap memberi manfaat bagi Indonesia.

"Kalau itu (bawa mitra part dari China) kan boleh-boleh saja, secara bisnis boleh-boleh saja. Tapi mungkin secara Indonesia ya ada untungnya, paling enggak ada pabrik menyerap tenaga kerja. Meskipun enggak dari GIAMM sendiri, enggak apa-apa," tutur Basuki.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan