Novita Hardini: Syuting Film di Indonesia Lebih Mahal dari New York dan Korea
Novita Hardini sebut syuting film di Indonesia lebih mahal dari New York. Kenapa insentif untuk film lokal belum juga ada?
Penulis:
Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor:
Acos Abdul Qodir
Ringkasan Utama
Legislator PDIP Novita Hardini menyoroti mahalnya biaya produksi film di Indonesia yang justru melebihi New York dan Korea. Ia mempertanyakan minimnya insentif bagi pelaku film lokal yang mempromosikan budaya dan pariwisata Indonesia.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Novita Hardini, mengkritisi minimnya dukungan pemerintah terhadap industri film lokal.
Ia menyoroti tingginya biaya produksi film di berbagai daerah Indonesia yang justru melebihi biaya syuting di negara maju seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan.
“Proses syuting yang dilakukan oleh para pelaku industri di berbagai daerah di Indonesia jauh lebih tinggi dari proses syuting di luar negeri seperti New York, maupun Korea,” ujar Novita dalam keterangannya, Minggu (7/9/2025).
Pernyataan tersebut disampaikan dalam forum resmi yang membahas peran ekonomi kreatif dalam mendukung promosi budaya dan pariwisata melalui media film.
Menurut Novita, para filmmaker Tanah Air belum mendapatkan insentif maupun fasilitas yang memadai, padahal karya mereka berpotensi memperkenalkan Indonesia ke dunia melalui narasi visual yang kuat.
“Saya berharap bisa mengakomodir tentang isu perfilman yang ada di Indonesia. Proses syuting yang mengangkat budaya, kearifan lokal dan cerita membumi yang mengedepankan wajah Indonesia di tingkat dunia, sehingga Indonesia memiliki daya tarik wisata dari setiap destinasi yang diangkat melalui film yang dikemas baik oleh anak bangsa,” lanjutnya.
Novita juga mempertanyakan komitmen Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dalam mendukung pelaku industri film lokal.
Ia menilai belum ada kebijakan insentif yang konkret untuk mendorong produksi film yang mengangkat kekayaan budaya Indonesia.
“Ini kan menjadi pertanyaan, bagaimana dukungan Kementerian Ekraf terhadap anak-anak bangsa yang mempromosikan destinasi wisata di film mereka?” tegasnya.
Baca juga: Ramai Desakan Hapus Tunjangan Pensiun DPR, Daniel Johan: Harus Lewat Jalur UU
Pernyataan Novita sejalan dengan keluhan sejumlah produser film nasional. Produser film Jodoh 3 Bujang, Chand Parwez, sebelumnya juga menyebut bahwa ongkos syuting di Makassar lebih mahal dibandingkan New York.
Ia menilai bahwa mengangkat kearifan lokal membutuhkan usaha dan biaya yang lebih besar, terutama dari sisi logistik dan perizinan.
Industri film Indonesia saat ini tengah berkembang, namun masih menghadapi tantangan struktural seperti biaya produksi tinggi, keterbatasan lokasi syuting yang ramah industri, serta minimnya dukungan fiskal. Padahal, menurut data Kemenparekraf, sektor film dan animasi menyumbang lebih dari Rp1,5 triliun terhadap PDB ekonomi kreatif pada 2024.
Dengan semakin banyaknya film Indonesia yang mengangkat tema budaya dan pariwisata, legislator seperti Novita mendorong agar pemerintah segera merumuskan kebijakan insentif, termasuk pembebasan pajak lokasi, subsidi produksi, dan kemudahan perizinan.
Novita Hardini
Komisi VII DPR
biaya syuting
film lokal
film Indonesia
ekonomi kreatif
insentif perfilman
Industri Film
PDIP
Seloroh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto Tak Tahan AC Setelah Bebas dari Rutan KPK |
![]() |
---|
Petani Sulit Raup Untung, PDIP Minta Pemerintah Evaluasi Harga Gabah |
![]() |
---|
Hari Tani, PDIP Tangsel Dorong Urban Farming di Tengah Keterbatasan Lahan |
![]() |
---|
Petani Keluhkan Irigasi dan Solar, PDIP: Kedaulatan Pangan Harga Mati, Petani Harus Sejahtera |
![]() |
---|
Kata NasDem, PDIP, hingga Pengamat soal Jokowi Perintahkan Relawan Dukung Prabowo-Gibran 2 Periode |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.