Sabtu, 4 Oktober 2025

HUT TNI

Catatan Koalisi Sipil Jelang HUT ke-80 TNI: Demokrasi Terancam Multifungsi dan Impunitas Militer

Koalisi masyarakat sipil memberikan sejumlah catatan kritis terkait multifungsi tentara di ranah sipil menjelang perngatan HUT ke-80 TNI.

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Danang Triatmojo
KRITIK TNI - Konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari KontraS, Imparsial, YLBHI, Amnesty Internasional, DeJure, KPI, Centra Initiative, HRWG, dan Rakhsa Initiative, di Kantor Imparsial, Jakarta Selatan, Sabtu (4/10/2025) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - tentara Nasional Indonesia (TNI) akan genap berusia ke-80 pada Sabtu, 5 Oktober 2025 besok.

Dalam peringatan HUT TNI ini, koalisi masyarakat sipil memberikan sejumlah catatan kritis terkait multifungsi tentara di ranah sipil.

Koalisi menyatakan, dengan masih bercokolnya multifungsi TNI dan impunitas militer, demokrasi Indonesia akan terus berada dalam ancaman.

"Dengan masih bercokolnya multifungsi TNI dan impunitas militer, demokrasi Indonesia terus berada dalam ancaman," ucap Direktur Imparsial Ardi Manto Putra dalam pernyataan bersama koalisi masyarakat sipil, dibacakan di Kantor Imparsial, Jakarta Selatan, Sabtu (4/10/2025).

Kritik ini dilontarkan  bercermin dari praktik multifungsi TNI yang terjadi selama periode pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Baca juga: Menhan Sjafrie Sjamsoeddin Pimpin Kirab di Monas, Agenda Penutup Doa Bersama Jelang HUT ke-80 TNI

Multifungsi itu mulai dari penempatan prajurit aktif di lembaga sipil, keterlibatan tentara pada urusan keamanan dalam negeri, mengurus sektor pertahanan, hingga praktik impunitas atau pembebasan hukuman bagi tentara yang melakukan pelanggaran pidana.

Koalisi menganggap, multifungsi TNI bukan cuma berbahaya bagi demokrasi tapi juga merusak profesionalisme TNI itu sendiri.

"Selain itu multifungsi TNI membuka ruang penyalahgunaan kewenangan yang berkaitan langsung dengan tindakan represif terhadap masyarakat," katanya.

Baca juga: Dalam Rangka HUT ke-80 TNI, Tarif Transjakarta, LRT, dan MRT Cuma Rp80 Berlaku 5 Oktober 2025

Impunitas ini terjadi karena kasus-kasus kekerasan dan tindak pidana yang melibatkan tentara terus diselesaikan lewat peradilan militer.

Sistem peradilan militer ini dipandang telah terbukti jadi celah kosong yang menciptakan ruang impunitas, apalagi jika korbannya adalah warga sipil.

Pasalnya sistem ini berlangsung tertutup, tidak memenuhi prinsip adil seperti keadilan gender, dan ada dominasi militer dalam perangkat peradilannya.

"Dalam praktiknya peradilan militer menjadi sarang impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana," kata Direktur Democratic Judicial Reform (Dejure) Bhatara Ibnu Reza.

Koalisi mengungkap, masalah ini makin diperparah dengan belum direvisinya UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Padahal TAP MPR Nomor VII/2020 dan Pasal 65 ayat (2) UU TNI mengamanatkan bahwa prajurit TNI diadili melalui peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum. Fakta bahwa aturan ini terus diabaikan semakin memperkuat persepsi bahwa anggota TNI kebal hukum.

"Selama hakim, jaksa, dan terdakwa sama-sama berasal dari institusi militer, impunitas kian menguat dan amat mustahil mengharapkan terwujudnya peradilan yang adil dan setara," ucap Ketua Bidang Advokasi YLBHI Zainal Arifin.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved