Jumat, 3 Oktober 2025

Dugaan Korupsi Kuota Haji

KPK Gandeng BPK Hitung Kerugian Negara Kasus Korupsi Kuota Haji, Angka Final Ditunggu

KPK bekerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan untuk menghitung nilai final kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji. 

Tribunnews.com/ Ilham Rian Pratama
KORUPSI KUOTA HAJI - Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (17/7/2025). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah bekerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung nilai final kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah bekerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung nilai final kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji. 

Sebelumnya, KPK menaksir kerugian negara dalam kasus ini mencapai lebih dari Rp 1 triliun, namun angka tersebut masih merupakan perhitungan kasar.

Baca juga: Cak Imin Santai KPK Belum Tetapkan Tersangka Korupsi Kuota Haji: Kita Tunggu

Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyatakan bahwa angka Rp 1 triliun merupakan taksiran awal. 

Untuk mendapatkan angka yang pasti dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, KPK telah melibatkan auditor dari BPK sebagai ahli.

"Sudah saya sampaikan tadi bahwa itu hanya perhitungan kasar ya. Untuk perhitungan jelasnya, lebih jelasnya nanti kita sedang meng-hire auditor dari BPK sebagai ahli perhitungan kerugian keuangan negaranya. Ditunggu aja ya," kata Asep dalam keterangannya, Kamis (2/10/2025).

 

 

Asep menambahkan, hasil audit final dari BPK ini menjadi krusial. 

Biasanya, penetapan dan penahanan tersangka akan dilakukan setelah perhitungan kerugian keuangan negara selesai.

Menurutnya, sumber kerugian negara yang ditaksir berasal dari berbagai pihak, tidak hanya dari ratusan agen travel yang diduga terlibat, tetapi juga dari perorangan dan pihak lainnya.

"Iya dari semuanya kita menghitung. Ada kerugian, ada dari perorangan, ada dari yang lainnya," jelasnya.

Baca juga: Korupsi Kuota Haji, 7 Saksi dari Petinggi dan Perwakilan Biro Travel Diperiksa di Polda Jatim

Fokus pada Kerugian Negara untuk Perbaikan Sistem

Dalam penanganan kasus ini, KPK memilih untuk fokus pada pasal kerugian negara (Pasal 2 atau 3 UU Tipikor) ketimbang pasal suap. 

Asep menjelaskan, strategi ini diambil agar KPK tidak hanya menghukum individu, tetapi juga dapat mendorong perbaikan sistem penyelenggaraan haji secara menyeluruh.

Menurutnya, jika menggunakan pasal suap, penegakan hukum hanya akan berhenti pada pemberi dan penerima tanpa menyentuh akar masalah. 

Dengan pasal kerugian negara, KPK dapat memetakan celah-celah korupsi dalam sistem dan memberikan rekomendasi perbaikan kepada Kementerian Agama (Kemenag).

"Keuntungannya adalah kita mengetahui siapa yang melakukan perbuatan melawan hukumnya dan bagaimana sistem dari pelaksanaan haji ini sehingga kenapa bisa terjadi kebocoran," tutur Asep.

Hingga saat ini, penyidikan kasus korupsi kuota tambahan haji tahun 2024 terus berjalan. 

KPK telah mencegah mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Choumas, bepergian ke luar negeri dan melakukan serangkaian penggeledahan, termasuk di kediaman Yaqut, kantor travel, dan kantor Ditjen PHU Kemenag. 

Dari penggeledahan tersebut, tim penyidik menyita berbagai dokumen, barang elektronik, hingga aset berupa kendaraan dan properti.

Modus Jual Beli Kuota dan Langgar Aturan

Kasus ini bermula dari dugaan pengkondisian kuota haji khusus yang tidak sesuai prosedur. 

Kuota tambahan haji khusus sebanyak 10.000 kursi diduga menjadi objek jual beli oleh oknum pejabat Kemenag melalui asosiasi travel.

Praktik ini semakin subur karena adanya biro perjalanan yang belum berizin sebagai Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) namun tetap bisa memberangkatkan jemaah dengan membeli kuota dari biro lain. 

Kuota tersebut menjadi sangat menarik karena diiming-imingi dapat berangkat pada tahun yang sama (T0) tanpa antre.

Pembagian kuota 50:50 ini sendiri diduga kuat melanggar Pasal 64 UU Nomor 8 Tahun 2019 yang mengamanatkan komposisi 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus. 

Akibatnya, sekitar 8.400 jemaah haji reguler yang telah mengantre bertahun-tahun harus tertunda keberangkatannya.

Dalam praktiknya, perusahaan travel diduga menyetor antara 2.600 hingga 7.000 dolar AS (sekitar Rp41,9 juta–Rp113 juta) per kuota kepada oknum pejabat Kemenag melalui asosiasi.

Kasus ini telah naik ke tahap penyidikan dengan taksiran kerugian negara mencapai lebih dari Rp1 triliun. 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved