Dugaan Korupsi Kuota Haji
KPK Ungkap Alasan Gunakan Pasal Kerugian Negara Dalam Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji
KPK membeberkan alasan di balik keputusan untuk tidak menggunakan pasal suap dalam penyelidikan dugaan korupsi kuota tambahan haji tahun 2024.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan alasan di balik keputusan untuk tidak menggunakan pasal suap dalam penyelidikan skandal dugaan korupsi kuota tambahan haji tahun 2024.
Lembaga antirasuah ini memilih untuk fokus pada pasal yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, dengan tujuan untuk membongkar dan memperbaiki sistem yang ada, bukan sekadar menghukum individu.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan penggunaan pasal suap seringkali hanya berhenti pada penghukuman pemberi dan penerima.
Hal ini dinilai tidak akan membawa perubahan signifikan pada sistem penyelenggaraan haji yang rawan diselewengkan.
"Misalkan si A ingin mendapatkan kuota, si B lalu memberikan kuota yang seharusnya bukan untuk si A. Nah, kemudian si A memberikan sesuatu. Hanya sampai di situ," ujar Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (1/10/2025).
Baca juga: KPK Dalami Peran Sentral Pertemuan Yaqut dan AMPHURI Dalam Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji
Menurutnya, proses hukum dengan pasal suap hanya akan membawa kedua pelaku ke pengadilan tanpa menyentuh akar permasalahan.
Dengan menerapkan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), KPK tidak hanya dapat menjerat pelaku, tetapi juga memiliki landasan untuk mengevaluasi dan merekomendasikan perbaikan sistem secara menyeluruh kepada Kementerian Agama.
"Keuntungannya adalah kita mengetahui siapa yang melakukan perbuatan melawan hukumnya (dan) bagaimana sistem dari pelaksanaan haji ini sehingga kenapa bisa terjadi kebocoran," tutur Asep.
Baca juga: KPK Bongkar Skema Berlapis Korupsi Kuota Haji, Ada Juru Simpan di Tiap Level
"Hasil evaluasinya akan kita sampaikan kepada Kementerian Haji, sehingga dalam pelaksanaan haji di tahun berikutnya kebocoran-kebocoran itu bisa diantisipasi," imbuhnya.
Adapun penyidikan kasus ini terus bergulir.
Untuk kepentingan penyidikan, KPK telah mengambil langkah tegas dengan mencegah mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Choumas, bepergian ke luar negeri selama enam bulan.
Sejumlah penggeledahan juga telah dilakukan di beberapa lokasi, termasuk kediaman Yaqut di Condet, kantor agen travel, dan ruang Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama.
Dari penggeledahan tersebut, KPK menyita berbagai barang bukti, mulai dari dokumen, barang bukti elektronik, hingga aset berupa kendaraan dan properti.
KPK menegaskan masih membutuhkan waktu untuk menuntaskan kasus kompleks ini, mengingat aliran dana diduga melibatkan ratusan agen perjalanan dan banyak pihak.
Lembaga ini juga bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melacak jejak uang haram tersebut.
Modus Jual Beli Kuota dan Langgar Aturan
Kasus ini bermula dari dugaan pengkondisian kuota haji khusus yang tidak sesuai prosedur.
Kuota tambahan haji khusus sebanyak 10.000 kursi diduga menjadi objek jual beli oleh oknum pejabat Kemenag melalui asosiasi travel.
Praktik ini semakin subur karena adanya biro perjalanan yang belum berizin sebagai Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) namun tetap bisa memberangkatkan jemaah dengan membeli kuota dari biro lain.
Kuota tersebut menjadi sangat menarik karena diiming-imingi dapat berangkat pada tahun yang sama (T0) tanpa antre.
Pembagian kuota 50:50 ini sendiri diduga kuat melanggar Pasal 64 UU Nomor 8 Tahun 2019 yang mengamanatkan komposisi 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.
Akibatnya, sekitar 8.400 jemaah haji reguler yang telah mengantre bertahun-tahun harus tertunda keberangkatannya.
Dalam praktiknya, perusahaan travel diduga menyetor antara 2.600 hingga 7.000 dolar AS (sekitar Rp41,9 juta–Rp113 juta) per kuota kepada oknum pejabat Kemenag melalui asosiasi.
Kasus ini telah naik ke tahap penyidikan dengan taksiran kerugian negara mencapai lebih dari Rp1 triliun.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.