Senin, 6 Oktober 2025

Kabinet Prabowo Gibran

Pakar Ungkap PR Purbaya sebagai Menkeu Baru: Paling Utama Perbaiki Kepercayaan Masyarakat

Peneliti Ekonomi CELIOS, Dyah Ayu, mengungkapkan sejumlah pekerjaan rumah (PR) Purbaya Yudhi Sadewa selaku Menteri Keuangan baru.

|
Kemenkeu/Biro KLI-Zalfa'Dhiaulhaq
ANGGARAN NEGARA - Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa buka suara soal perbandingan kebijakannya dengan eks Menkeu Sri Mulyani dalam mengelola keuangan negara. Peneliti Ekonomi CELIOS, Dyah Ayu, mengungkapkan sejumlah pekerjaan rumah (PR) Purbaya Yudhi Sadewa selaku Menteri Keuangan (Menkeu)baru yang menggantikan Sri Mulyani. 

TRIBUNNEWS.COM - Peneliti Ekonomi CELIOS, Dyah Ayu, mengungkapkan sejumlah pekerjaan rumah (PR) Purbaya Yudhi Sadewa selaku Menteri Keuangan (Menkeu)baru yang menggantikan Sri Mulyani.

CELIOS adalah singkatan dari Center of Economic and Law Studies, sebuah lembaga penelitian independen di Indonesia yang fokus pada keunggulan, riset interdisipliner untuk mengatasi isu-isu penting seperti krisis iklim dan ketidaksetaraan sistemik, serta menyajikan analisis ekonomi dan hukum kepada publik dan pembuat kebijakan. 

Menurut Dyah, PR paling mendesak yang harus langsung disentuh Purbaya di awal masa jabatannya ialah untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat.

"Yang paling utama adalah memperbaiki dan memulihkan kepercayaan masyarakat. Apalagi perekonomian Indonesia saat ini tidak baik-baik saja," ujarnya dalam acara On Focus yang tayang di YouTube Tribunnews, Selasa (16/9/2025).

Dyah Ayu lantas menyinggung data pertumbuhan ekonomi triwulan-II 2025 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

CELIOS mempertanyakan sumber data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang disebut mencapai 5,12 persen.

"Karena kita tahu bahwa selain ada pertumbuhan ekonomi, peningkatan gaji masyarakat ini cukup stagnan setiap tahunnya 1,2 persen." 

"Inflasi juga terus meningkat, tetapi pertumbuhan gaji yang didapatkan masyarakat tidak begitu cukup signifikan untuk pendapatannya, untuk keseharian mereka. Ini juga menjadi hal yang harus perlu diperhatikan oleh Pak Purbaya ini sendiri," tuturnya.

PR kedua Purbaya, jelasnya, adalah terkait naiknya beban utang yang mempersempit ruang fiskal Indonesia.

Dyah menyatakan, pada triwulan I 2025 lalu, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 34,8 persen.

Namun, ketika disampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk 2026, risiko utang ini akan mencapai 39,96 persen dan ada rencana kenaikan untuk peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenakan untuk masyarakat menengah dan ke bawah.

Baca juga: Dikritik Rektor Universitas Paramadina, Purbaya: Dia Salah Undang-undang, Pak Didik Belajar Lagi

"Ini akan lebih menyakitkan hati masyarakat seperti itu," ungkapnya.

Oleh karena itu, ucap Dyah, CELIOS mendesak pemerintah untuk mengenakan pajak orang terkaya di Indonesia.

Jika dikenakan pajak terhadap orang terkaya, Indonesia akan mendapatkan potensi pajak yang lebih besar.

"Karena 50 orang terkaya di Indonesia ini setara dengan kekayaan 50 juta orang di Indonesia," jelasnya.

Ia menekankan bahwa hal tersebut harus diperhatikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa. 

Jangan sampai hanya memaksakan pajak terhadap masyarakat menengah dan ke bawah, tetapi bagaimana juga harus mengenakan pajak bagi orang terkaya di Indonesia.

Optimisme Purbaya

Sebelumnya, Purbaya Yudhi Sadewa optimistis pertumbuhan ekonomi nasional bisa tembus 8 persen jika digerakkan bersama oleh mesin negara dan sektor swasta.

Optimisme ini ia sampaikan di acara diskusi bertajuk Great Lecture dengan tema Transformasi Ekonomi Nasional: Pertumbuhan Inklusif Menuju 8 persen” yang diselenggarakan GREAT Institute di Jakarta, Kamis (11/9/2025).

Menurut Purbaya, pertumbuhan ekonomi 8 persen sejatinya bukan merupakan hasil akhir, tetapi suatu kebutuhan yang mesti diusahakan dengan sungguh-sungguh bila Indonesia ingin lepas dari middle income trap.  

“Lihat Jepang, Korea Selatan, dan China. Mereka pernah merasakan pertumbuhan dua digit dalam kurun waktu yang tidak singkat. Jika kita tidak mengusahakannya, maka kita akan selalu berada di posisi ini,” ujarnya.

Mantan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Indonesia tersebut melihat pangkal persoalan ekonomi saat ini terjadi karena likuditas yang kering, yang ditunjukkan oleh indikator M0 dalam perekonomian yang pertumbuhannya negatif. 

Berdasarkan pengalaman Purbaya, peristiwa yang serupa hampir sama terjadi pada saat Pandemi Covid-19 sehingga ia menyarankan kepada Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) agar menarik uang Rp300 triliun di Bank Indonesia agar dikembalikan ke sistem perbankan melalui berbagai program pemulihan ekonomi.

Alhasil, pada 2021 ekonomi di Indonesia perlahan mulai pulih karena hantaman pandemi Covid-19. 

Resep yang serupa ini menurut Menteri Keuangan akan dapat menggerakkan ekonomi nasional. 

"Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dorongan likuditas dari sisi fiskal terus diperkuat," tegas Purbaya.

Menkeu juga melihat perlambatan ekonomi saat ini juga terjadi akibat peran sektor swasta yang belum optimal.

"Pada periode Presiden SBY terjadi private-led growth (pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor swasta), pertumbuhan kredit mengalir sehingga sektor swasta tumbuh."

"Di periode Presiden Jokowi terjadi state-led growth (pemerintah yang berperan besar mendorong perekonomian), di mana pemerintah yang banyak berperan mendorong perekonomian, tetapi pertumbuhan kredit cenderung urun dan utang pemerintah naik. Sekarang waktunya mesin ekonomi negara dan swasta bergerak," ujar Purbaya.

(Tribunnews.com/Deni/Erik)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved