Kamis, 2 Oktober 2025

Fadli Zon Digugat ke PTUN, YLBHI Ingatkan Hakim Berhati-hati: Jangan Sampai Ada Intervensi

YLBHI mengingatkan hakim PTUN Jakarta untuk berhati-hati dalam menyidangkan gugatan terhadap Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

Tribunnews.com/Ibriza Fasti
PERKOSAAN MASSAL MEI 1998 - Ketua YLBHI Muhamad Isnur, dalam konferensi pers yang digelar secara daring oleh Koalisi Masyarakat Anti Impunitas terkait gugatan terhadap Menteri Kebudayaan Fadli Zon ke PTUN Jakarta, pada Kamis (11/9/2025). Koalisi Masyarakat Anti Impunitas melayangkan gugatan terhadap Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum karena menyangkal kebenaran persitiwa perkosaan massal yang terjadi di Indonesia pada Mei 1998 silam. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengingatkan hakim PTUN Jakarta untuk berhati-hati dalam menyidangkan gugatan terhadap Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

Diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Impunitas melayangkan gugatan terhadap penyangkalan Fadli Zon perihal kebenaran kasus pemerkosaan massal Mei 1998 ke PTUN Jakarta.

Baca juga: Fadli Zon Digugat, Sandyawan Sumardi: Investigasi TGPF soal Perkosaan Mei 1998 Paling Komprehensif

"Hakim PTUN, kami mendesak hakim PTUN untuk bekerja secara seksama, secara hati-hati, dan jangan sampai ada intervensi," kata Ketua YLBHI Muhamad Isnur, dalam konferensi pers secara daring, Kamis (11/9/2025).

Isnur mengatakan, hal tersebut perlu disampaikan mengingat dalam beberapa kasus terdahulu, potensi intervensi pihak tertentu dalam perkara antara masyarakat sipil dengan pemerintah sangat mungkin terjadi.

 

 

Ia juga menyinggung agar jangan sampai kasus korupsi dalam penanganan perkara kembali terjadi, sebagaimana kasus yang menjerat eks pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar.

"Kita sadar kita berhadapan dengan kekuasaan ya. Ini Menteri, punya kekuasaan, punya komunikasi di belakang. Kami tahu juga bahwa dalam banyak hal hakim-hakim di kasus-kasus lain coba banyak diintervensi. Bahkan juga indikasi korupsi, kasus Zarof misalnya," jelasnya.

Sementara itu, Isnur menilai, penyangkalan Fadli Zon terhadap kebenaran kasus perkosaan massal Mei 1998 mengindikasikan tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk meneruskan penyelidikan-penyelidikan Komnas HAM terkait insiden tragis itu.

"Jadi ini itu double kesalahan ya. Pertama, (pemerintah) sudah tidak mau menyelesaikan (kasus Mei 1988), tidak ada indikasi yang serius buat pemerintah untuk meneruskan penyelidikan-penyelidikan Komnas HAM," ucap Isnur.

"Juga bukan hanya tidak mau menyelesaikan, tapi juga memutihkan, menghapus dosa-dosanya, menghapus kesalahannya, memberikan impunitas kepada para pelakunya," sambungnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan, gugatan ini dilayangkan untuk mengevaluasi perilaku pejabat publik dan menjadi pelajaran bagi pejabat lainnya di masa mendatang.

"Tidak bisa pejabat publik itu, Fadli Zon, siapa pun itu, bertindak semau-maunya. Maka tindakannya juga punya ikatan kewajiban hukum dan bisa dievaluasi oleh masyarakat dengan jalan apapun, termasuk dengan pengadilan," tutur Isnur.

Fadli Zon Digugat ke PTUN

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mendaftarkan gugatan atas pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon terkait penyangkalan pemerkosaan Mei 1998 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Para penggugat, di antaranya penggugat perorangan, yang terdiri dari Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 Marzuki Darusman, pendamping korban perkosaan massal Mei 1998 Ita Fatia Nadia, perwakilan Paguyuban Mei 1998 Kusmiyati, dan Koordinator Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TRUK) Sandyawan Sumardi.

Kemudian, penggugat badan hukum perdata, terdiri dari Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Kalyanamitra.

Gugatan perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tersebut didaftarkan, pada Kamis (11/9/2025).

"Pada hari ini kami telah melayangkan gugatan berkaitan dengan gugatan perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan objek gugatan yang kami layangkan kepada Menteri Kebudayaan," kata perwakilan kuasa hukum para penggugat Jane Rosalina, dalam konferensi pers secara daring, Kamis.

Jane mengatakan, objek gugatan yang dilayangkan pihaknya, yaitu berupa tindakan administratif pemerintahan berupa pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam siaran berita Kementerian Kebudayaan dengan nomor 151/Sipers/A4/HM.00.005/2025 tertulis tanggal 16 Mei 2025 dan disiarkan pada 16 Juni 2025 serta diunggah melalui akun Instagram resmi Menteri Kebudayaan atas nama Fadli Zon dan akun resmi Kementerian Kebudayaan atas nama Kemenbud tertanggal 16 Juni 2025.

Adapun dalam siaran berita Kementeriaan Kebudayaan dan unggahan akun instagram Fadli Zon itu, menyatakan sebagai berikut:

"Laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Di sinilah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri. Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik sebagaimana lazimnya dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik."

Gugatan tersebut teregister dengan Nomor Perkara 303/G/2025/PTUN-JKT.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua TGPF Mei 1998 Marzuki Darusman mengatakan, gugatan terhadap Menteri Kebudayaan yang dilayangkan kepada PTUN Jakarta ini sepenuhnya tertuju untuk melindungi para korban.

"Karena itu gugatan kepada PTUN ini sepenuhnya tertuju untuk melindungi para korban, pada saat ini yang dalam proses menuju kepada pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh pemerintah ini," ucap Marzuki, dalam konferensi pers.

Ia menekankan, pemerintah terdahulu telah mengakui peristiwa Mei 1998 merupakan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang harus diselesaikan negara.

"Melanjutkan apa yang sudah diakui oleh pemerintah yang lalu bahwa peristiwa Mei merupakan bagian dari serangkaian pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia berat yang diakui negara sebagai utang pada bangsa ini untuk diselesaikan," pungkasnya.

Duduk Perkara

Seperti diketahui, kasus pemerkosaan massal yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 silam kembali menjadi perbincangan publik.

Hal itu setelah pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal terjadinya kasus pemerkosaan massal Mei 1998 sebagai fakta sejarah, dalam sebuah sesi wawancara terkait proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas Kementerian yang dipimpinnya.

Dalam sebuah siniar bersama jurnalis senior Uni Lubis, Fadli Zon mempertanyakan kebenaran pemerkosaan massal yang terjadi dalam tragedi Mei 1998. 

Ia menyebut peristiwa itu masih menjadi bahan perdebatan di kalangan sejarawan karena belum ditemukan “fakta keras” yang bisa dipertanggungjawabkan secara historis.

"Kalau itu, itu menjadi domain pada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kita enggak pernah tahu ada enggak fakta keras. Kalau itu kita bisa berdebat," ujarnya dalam siniar tersebut.

Lebih lanjut, Fadli bahkan meragukan keberadaan rudapaksa massal dalam sejarah resmi.

"Nah, ada rudapaksa massa betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Enggak pernah ada proof (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada," tegasnya.

Pernyataan itu langsung menuai reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat sipil yang telah puluhan tahun memperjuangkan keadilan bagi korban tragedi 1998, khususnya perempuan etnis Tionghoa yang mengalami kekerasan seksual.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved