Demo di Jakarta
Dinonaktifkan Partai, Ahmad Sahroni Hingga Eko Patrio Masih Bisa Terima Gaji dan Fasilitas DPR
Titi Anggraini mengatakan, anggota DPR yang dinyatakan nonaktif oleh partai politik tetap berhak menerima gaji dan fasilitas sebagai legislator.
Penulis:
Fersianus Waku
Editor:
Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, anggota DPR yang dinyatakan nonaktif oleh partai politik tetap berhak menerima gaji dan fasilitas sebagai legislator.
Sebab, status keanggotaan mereka belum berubah secara hukum selama belum diberhentikan melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).
Ada lima anggota DPR dinyatakan nonaktif oleh partainya, di antaranya.
1. Ahmad Sahroni (NasDem)
2. Nafa Urbach (NasDem)
3. Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio (PAN)
4. Surya Utama atau Uya Kuya (PAN)
5. Adies Kadir (Golkar)
Titi menjelaskan, istilah nonaktif memang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Namun, penggunaannya sangat spesifik.
Baca juga: Polisi Selidiki Penjarahan di Rumah Menkeu Sri Mulyani hingga Ahmad Sahroni
Pasal 144 UU MD3 mengatur bahwa pimpinan DPR dapat menonaktifkan sementara pimpinan dan/atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sedang diadukan, apabila pengaduannya dinyatakan memenuhi syarat serta lengkap untuk diproses.
"Jadi, konteks 'nonaktif' dalam UU MD3 itu hanya berlaku pada posisi pimpinan atau anggota MKD, bukan pada anggota DPR secara umum," kata Titi kepada wartawan, Senin (1/9/2025).
Hal tersebut juga ditegaskan dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR, yang menyatakan bahwa pengaturan mengenai nonaktif hanya berlaku pada pimpinan atau anggota MKD yang diadukan.
Menurut Titi, selain ketentuan itu, perubahan status anggota DPR hanya dapat dilakukan melalui mekanisme pemberhentian antarwaktu (PAW) sebagaimana diatur dalam Pasal 239 UU MD3.
Baca juga: Sahroni, Eko, Nafa, Uya Kuya hanya Dinonaktifkan, Formappi: Parpol Tak Berani Akui Kesalahan Kader
Proses ini melibatkan usulan dari partai politik, pimpinan DPR, dan penetapan oleh Presiden.
Karena itu, ketika partai politik menyatakan menonaktifkan kadernya yang menjadi anggota DPR, hal tersebut masih berupa keputusan internal partai atau fraksi, dan belum merupakan mekanisme hukum yang otomatis mengubah status keanggotaannya di DPR.
"Dari sisi hukum, mereka tetap berstatus anggota DPR sampai ada PAW. Pergantian antarwaktu bisa dilakukan setelah ada pemberhentian antarwaktu yang disampaikan pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR," ujar Titi.
Titi menjelaskan, Pasal 239 UU MD3 menyebutkan bahwa anggota DPR berhenti antarwaktu apabila meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan.
Pemberhentian sebagaimana dimaksud hanya dapat dilakukan apabila anggota DPR memenuhi sejumlah alasan, seperti tidak melaksanakan tugas selama tiga bulan tanpa keterangan, melanggar sumpah atau kode etik DPR, dijatuhi pidana lima tahun atau lebih dengan putusan berkekuatan hukum tetap, diusulkan oleh partai politiknya, tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR, melanggar larangan dalam UU MD3, diberhentikan sebagai anggota partai politik, atau menjadi anggota partai politik lain.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.