Senin, 6 Oktober 2025

Korban PSN Menguji Legitimasi Konstitusional Proyek Strategis Nasional

Sidang hari ini turut menghadirkan korban PSN yang datang langsung ke ruang sidang untuk menyampaikan dampak nyata yang mereka alami.

Ist
GUGATAN PSN - Delapan organisasi masyarakat sipil, serta 13 korban terdampak langsung Proyek Strategis Nasional (PSN) mengajukan permohonan Judicial Review (JR) pengaturan kemudahan dan percepatan PSN dalam Undang Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi, Selasa (19/8/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Sidang ke-III perkara Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja digelar hari ini, Selasa (19/8/2025) di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 

Sidang memasuki agenda mendengarkan keterangan dari DPR RI dan Presiden Republik Indonesia.

Sidang ini berlangsung hanya beberapa hari setelah Presiden Prabowo Subianto menyampaikan Pidato Kenegaraan pada 15 Agustus 2025, yang menegaskan rencana ekspansi jutaan hektar lahan pangan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), termasuk di wilayah Papua.

Pernyataan tersebut memperkuat arah kebijakan pemerintah yang dinilai tidak melakukan evaluasi kritis terhadap kegagalan program Food Estate sebelumnya, serta mengabaikan dampak kerusakan lingkungan, pelanggaran hak masyarakat adat, dan ancaman terhadap kedaulatan pangan lokal.

Permohonan judicial review diajukan pada 4 Juli 2025 oleh delapan organisasi masyarakat sipil, satu individu, dan dua belas korban PSN yang terdiri dari masyarakat adat, petani, nelayan, dan akademisi.

Mereka menggugat norma-norma dalam UU Cipta Kerja yang memberi legitimasi pada “kemudahan dan percepatan PSN”, yang tersebar di berbagai sektor hukum seperti UU Kehutanan, UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan, UU Penataan Ruang, serta UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Secara substansi, norma tersebut dinilai multitafsir dan membuka celah pembajakan regulasi.

Frasa “kemudahan dan percepatan PSN” dianggap memberi kewenangan berlebihan kepada pemerintah untuk meloloskan proyek besar tanpa mekanisme pengawasan yang memadai, bertentangan dengan prinsip negara hukum dan supremasi konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Ketentuan tersebut juga berimplikasi pada penyalahgunaan konsep “kepentingan umum”, yang dalam praktiknya menjadi dasar hukum bagi badan usaha untuk mengambil alih tanah warga, termasuk tanah adat, tanpa perlindungan hukum yang memadai.

Dampaknya adalah penggusuran paksa dan perampasan ruang hidup, yang bertentangan dengan jaminan hak atas kepastian hukum dan hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D dan Pasal 28H UUD 1945.

Selain itu, norma dalam UU Cipta Kerja membuka jalan bagi alih fungsi lahan pangan berkelanjutan untuk kepentingan PSN tanpa partisipasi bermakna atau kompensasi yang adil. Hal ini mengancam hak atas pangan dan keberlanjutan pertanian, serta bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 tentang penguasaan negara atas sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat dan pembangunan berkeadilan.

Para pemohon juga menyoroti kecenderungan pemusatan kekuasaan di tangan pemerintah pusat, termasuk penghapusan peran DPR dalam persetujuan perubahan peruntukan kawasan hutan.

Ini menjadikan kebijakan pembangunan berskala besar sepenuhnya ditentukan oleh eksekutif tanpa mekanisme check and balance yang semestinya dijaga dalam negara hukum demokratis.

Sidang hari ini turut menghadirkan korban PSN yang datang langsung ke ruang sidang untuk menyampaikan dampak nyata yang mereka alami.

Di antaranya adalah masyarakat adat Merauke terdampak proyek Food Estate, warga Pulau Rempang yang terancam penggusuran akibat proyek Rempang Eco City, masyarakat Sulawesi Tenggara terdampak tambang nikel, warga Kalimantan Timur terkait pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), serta masyarakat Kalimantan Utara yang terimbas Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI).

Kesaksian mereka menunjukkan bahwa dampak PSN bukanlah abstraksi hukum, melainkan kenyataan hidup berupa hilangnya tanah adat, kerusakan ekologis, dan praktik kriminalisasi terhadap warga yang menolak proyek.

Dalam konteks ini, Gerakan Rakyat Menggugat Proyek Strategis Nasional (Geram PSN) menegaskan bahwa judicial review ini bukan sekadar uji terhadap pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja, melainkan juga pengujian atas arah pembangunan nasional ke depan.

"Mahkamah Konstitusi memiliki peran yang amat penting sebagai benteng terakhir penjaga konstitusi dan keadilan ekologis," dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com.

"Keputusan MK dalam perkara ini akan menentukan apakah pembangunan nasional akan benar-benar berpihak pada rakyat dan kelestarian lingkungan hidup, atau justru tunduk pada logika investasi yang mengorbankan hak asasi manusia, kedaulatan rakyat, dan masa depan ekologis bangsa."

Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Dr. Suhartoyo, S.H., M.H., terungkap bahwa Pemerintah belum siap memberikan keterangan substansi. Perwakilan dari Kemenko Perekonomian, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Hukum dan HAM hanya menyampaikan permohonan penundaan karena belum menyusun jawaban. 

Sementara itu, DPR RI sama sekali tidak hadir memenuhi panggilan Mahkamah Konstitusi.

Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa kedua lembaga negara tersebut abai terhadap kewajiban konstitusional untuk mempertanggungjawabkan produk hukum yang mereka hasilkan.

Edy, kuasa hukum dari YLBHI yang mendampingi warga, menyampaikan kekecewaan mendalam karena warga terdampak yang telah datang jauh-jauh ke Jakarta tidak diberi kesempatan menyuarakan pendapatnya di hadapan Majelis Hakim.

Sidang akhirnya ditunda hingga 25 Agustus 2025 tanpa kejelasan sikap serius dari Pemerintah dan DPR.

Atas kondisi tersebut, GERAM PSN menegaskan bahwa perjuangan warga untuk mendapatkan keadilan tidak boleh dibiarkan melemah oleh sikap abai para pengambil kebijakan. Oleh karena itu, GERAM PSN mengajak publik luas untuk bergabung dalam gerakan solidaritas melalui penandatanganan petisi dukungan yang telah dibuka secara daring.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved