Sabtu, 4 Oktober 2025

Generasi Muda Jadi Pasar Potensial untuk Propaganda Ekstrem, Kontra Narasi Jadi Solusi

Guru Besar Kriminologi UI, Prof. Adrianus Eliasta Meliala, dalam Podcast Kafe Toleransi BNPT menyebut bahwa strategi kelompok radikal.

Penulis: willy Widianto
Editor: Wahyu Aji
Ilham Rian Pratama/Tribunnews.com
KELOMPOK RADIKAL - Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia, Prof. Adrianus Eliasta Meliala menyebut bahwa strategi kelompok radikal memang sudah lama bergeser ke dunia maya.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ruang digital kini bukan sekadar tempat berbagi cerita dan hiburan.

Dibalik layar gawai, algoritma tak hanya merekomendasikan musik dan film, tapi juga bisa menyodorkan paham-paham kebencian.

Bagi kelompok radikal, media sosial menjadi ruang subur menyebarkan ideologi ekstrem. Di titik inilah kontranarasi negara diuji.

Penyebaran paham radikal terorisme melalui media sosial memiliki efek yang sangat luar biasa. 

Media sosial hadir bukan lagi sebagai pelengkap, tetapi telah menjadi medan utama penyebaran radikalisme, menggantikan pola-pola konvensional seperti ceramah tertutup atau selebaran gelap.

Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia, Prof. Adrianus Eliasta Meliala, dalam Podcast Kafe Toleransi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut bahwa strategi kelompok radikal memang sudah lama bergeser ke dunia maya. 

“Kalau kita lihat pada waktu dulu kita kenal organisasi teroris yang bernama ISIS ya, sekitar tahun 2011–2012, mereka memang memakai media sosial, media internet, sebagai media perjuangannya,” kata Adrianus, Sabtu(12/7/2025).

Ia menambahkan, kelompok ini sadar bahwa media sosial adalah alat propaganda yang murah, menjangkau luas, dan mampu menanamkan pesan secara personal.

Kreativitas propagandis radikal juga ikut berevolusi dengan menciptakan konten-konten menggungah bagi para calon korban. 

“Dalam rangka mendapatkan massa baru, mendapatkan penggemar baru, maka mereka terpaksa melakukan cara-cara yang kreatif,” katanya.

BNPT mencatat, strategi baru ini telah melahirkan sederet kasus nyata. Mulai dari serangan tunggal oleh Zakia Aini di Mabes Polri hingga penangkapan jaringan di Purworejo, Jawa Tengah.

Semua menunjukkan pola rekrutmen dan radikalisasi digital yang kian sistematis.

Kini menjadi perhatian, jumlah pengguna media sosial Indonesia yang sangat besar. 

Menurut Adrianus, diperkirakan ada lebih dari 70 juta pengguna aktif dari populasi muda usia di bawah 30 tahun.

Populasi ini menjadi pasar potensial bagi propaganda ekstrem. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved