Senin, 29 September 2025

Pemerintah Kaji Pemulangan WNI Napi Terorisme di Luar Negeri, Antara Kemanusiaan dan Diplomasi

Di balik jeruji asing, harapan WNI terpidana terorisme menggantung pada undang-undang yang belum lahir. Akankah mereka pulang?

Istimewa
TERORISME - Sebanyak 22 tersangka terorisme jaringan Jamaah Islamiyah (JI) asal Jawa Timur tiba di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (18/3/2021). Pemerintah Indonesia kini mengkaji pemulangan WNI terpidana terorisme luar negeri sambil menunggu pengesahan RUU Pemindahan Narapidana. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Pemerintah Indonesia tengah menghadapi dilema kompleks terkait pemulangan warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi terpidana kasus terorisme di luar negeri. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan bahwa proses tersebut baru dapat dilakukan setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemindahan Narapidana Antarnegara disahkan.

Langkah ini bukan sekadar teknis hukum, melainkan menyentuh aspek kemanusiaan, hubungan diplomatik, dan keadilan pidana.

Kepala BNPT Eddy Hartono menegaskan bahwa pihaknya masih mengkaji kemungkinan pemulangan WNI yang saat ini menjalani hukuman di negara lain.

"Ini akan dibuat undang-undang, nanti baru kita akan mendatakan apakah ada peluang WNI yang ditahan di luar negeri itu bisa dilakukan mekanisme pengaturan seperti di undang-undang yang akan dibuat ini," ujar Eddy di Jakarta, Kamis (21/8/2025).

Salah satu kasus yang tengah dikaji BNPT adalah permohonan pemulangan Taufiq Rifqi, WNI terpidana seumur hidup atas pengeboman hotel di Cotabato, Filipina, pada awal 2000-an. Ia ditangkap di usia sekitar 20 tahun dan telah menjalani hukuman lebih dari 25 tahun. Taufiq diketahui sebagai anggota Jamaah Islamiyah (JI) dan disebut pernah mendapat pelatihan dari Fathurrahman Al-Ghozi, tokoh terorisme Asia Tenggara.

Permintaan pemulangannya diajukan oleh keluarganya, terutama sang ibu di Jawa Tengah. BNPT belum mengambil keputusan karena regulasi pemindahan narapidana masih dalam tahap pembahasan.

Baca juga: Batas Waktu Pengajuan Kompensasi Korban Terorisme Diperpanjang dari Tiga Tahun Jadi 10 Tahun

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, menyebut bahwa pemindahan narapidana antarnegara harus diawali dengan permintaan resmi dari negara asal tahanan.

"Undang-undangnya ini mengatur tentang tata cara, syarat-syarat tentang pemindahan narapidana itu. Tapi, pelaksanaannya kan berdasarkan permohonan," kata Yusril, Selasa (19/8/2025).

Yusril menambahkan bahwa pemerintah akan mempertimbangkan aspek kemanusiaan, lamanya masa tahanan yang telah dijalani, serta hubungan baik antarnegara sebelum menyetujui pemindahan.

"Pertama adalah pertimbangan kemanusiaan dan kedua adalah pertimbangan hubungan baik dengan negara yang bersangkutan, dan juga sudah berapa lama orang itu menjalani pidana di sini," jelasnya.

RUU ini juga mencakup narapidana dengan hukuman mati, selama eksekusi belum dilakukan. Namun, hanya mereka yang telah memiliki putusan hukum tetap (inkrah) yang bisa diproses. Untuk kasus yang masih berjalan, mekanismenya adalah melalui ekstradisi.

"Kalau sedang dalam proses penyelidikan-penyelidikan, bisa diekstradisikan. Ini kan hanya yang sudah dipidana, ada putusan inkrah," tegas Yusril.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan