Senin, 29 September 2025

UU Pemilu

DPR Didorong Segera Bahas RUU untuk Pemilu 2029, Pakar: Banyak Masalah Warisan Pemilu 2024

DPR selaku pembentuk undang-undang diminta untuk segera memulai proses pembahasan rancangan undang-undang terkait pemilu dan pilkada.

Tribunnews.com/Mario Christian Sumampow
SISTEM PEMILU - Pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini. Ia meminta DPR selaku pembentuk undang-undang segera memulai proses pembahasan rancangan undang-undang terkait pemilu dan pilkada. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyak aspek teknis yang harus dibahas dan dirancang guna menerapkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal pada 2029 mendatang.

Maka dari itu DPR selaku pembentuk undang-undang diminta untuk segera memulai proses pembahasan rancangan undang-undang terkait pemilu dan pilkada.

"Konsekuensi Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, maka pembahasan RUU Pemilu harus disegerakan untuk dimulai," kata pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini saat dikonfirmasi, Senin (30/6/2025).

"Sebab ada banyak aspek teknis masa transisi menuju pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah yang harus dipersiapkan dan disimulasikan oleh pembentuk undang-undang," sambungnya.

Penyegeraan pembahasan revisi undang-undang ini dinilai Titi sangat perlu agar mendapatkan pengaturan yang berkualitas dan mampu menghadirkan tata kelola pemilu yang demokratis.

Dengan proses yang dilakukan sesegera mungkin, maka DPR juga akan semakin mampu mengantisipasi berbagai potensi masalah yang mungkin muncul dan menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan untuk penyelesaiannya.

"Apalagi ada banyak masalah teknis warisan Pemilu 2024 yang membutuhkan perbaikan pengaturan," tuturnya.

"Misal terkait seleksi penyelenggara pemilu, optimalisasi penggunaan teknologi kepemiluan, maupun antisipasi kecurangan pemilu dengan skema penegakan hukum yang efektif dan berkeadilan," pungkas Titi.

Putusan MK

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengungkap alasan memutus menghapus keserentakan pelaksanaan pemilihan umum atau Pemilu nasional dengan Pilkada dalam rentang waktu yang sama. 

MK memutus gelaran Pilkada dijeda selama 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun dihitung setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, dan DPD RI.

Dalam pertimbangan hukum untuk perkara nomor 135/PUU-XXII/2024, keserentakan semua jenis pemilihan membuat terjadi tumpukan beban kerja penyelenggara Pemilu yang juga berpengaruh pada kualitas penyelenggaraan.

MK berkaca pada Pemilu 2019 dan 2024.

Keserentakan dipandang berimplikasi pada partai politik dalam menyiapkan kadernya.

Dalam waktu bersamaan Parpol harus menyiapkan ribuan kader untuk semua jenjang kontestasi pemilihan umum di tingkat nasional maupun daerah.

Kondisi itu membuat Parpol tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik dan kepentingan politik praktis.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan