UU Pemilu
Plus Minus Pemilu Tak Lagi Serentak Mulai 2029, Peta Politik Nasional Dinilai Tak Berubah
Pengamat menilai putusan MK tersebut tidak berpengaruh terhadap politik nasional, tetapi lebih kepada otonomi daerah yang semakin kuat.
TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan bahwa pemilu dan pilkada tidak akan digelar serentak lagi mulai tahun 2029.
Hal ini disampaikan dalam sidang yang digelar pada Kamis (26/6/2025). Sementara, putusan tersebut tertuang dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XXII/2024.
Dalam putusan tersebut, MK mengusulkan agar pilkada dan pileg DPRD digelar paling lama 2,5 tahun setelah pelantikan anggota DPR dan presiden/wakil presiden.
Pengamat politik sekaligus Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menilai putusan tersebut menjadi angin segar terkait pemilu di Indonesia.
Dia mengatakan, adanya putusan dari MK ini mengakhiri kekeliruan terkait sistem pemilu yang menurutnya serba tanggung.
Pasalnya, ketika dilakukan pemilu bersifat nasional seperti memilih presiden/wakil presiden, anggota DPR, dan anggota DPD, tetapi di saat yang bersamaan juga dilakukan pemilihan anggota untuk DPRD di tingkat daerah.
"(Putusan MK) mengakhiri kekeliruan sistem pemilu yang serba tanggung. Disebut pemilu nasional tapi di dalamnya ada pemilihan anggota DPRD. Sementara, disebut pemilu lokal, hanya memilih eksekutif tanpa legislatif."
"Dengan putusan ini, hambatan pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal dengan sendirinya berakhir," katanya ketika dihubungi, Kamis (26/6/2025).
Baca juga: MK: Pemilu-Pilkada Serentak Jadi Penyebab Politik Transaksional di Tubuh Parpol
Ray juga mengatakan, putusan MK agar pemilu dan pilkada tak digelar di tahun yang sama turut berdampak atas isu yang diangkat oleh para calonnya.
Dia mengungkapkan, ketika mengacu pada sistem pemilu serentak, masyarakat hanya berfokus pada isu nasional saja dalam konteks Pilpres dan membuat isu lokal justru tak menjadi sorotan.
"Pemisahan ini juga akan dapat memisahkan nasional dan lokal. Sebelumnya, format pemilu serentak versi lama menenggelamkan isu-isu loka. Semuanya terpusat pada pilpres."
"Dan hasil pilpres juga mempengaruhi pilihan pemilih. Dengan dipisah, diharapkan isu lokal bukan lagi sekedar isu sertaan," katanya.
Ray juga menilai, putusan MK ini turut memengaruhi otonomi di daerah semakin kuat.
Dia menganggap pemerintah daerah dengan adanya putusan tersebut sudah bukan menjadi bagian secara struktural dengan pemerintah pusat.
"Ia (pemerintah daerah) mandiri dengan kewenangan yang telah disematkan oleh UU Otonomi Daerah," jelasnya.
Kendati demikian, Ray mengungkapkan, putusan MK tersebut hanya akan memengaruhi konstelasi politik di daerah alih-alih secara nasional.
Dia mengungkapkan, pileg nantinya justru diprediksi tergantung dari popularitas figur calon kepala daerah yang diusung parpol.
"Kursi parpol di pemilu lokal-legislatif sangat tergantung pada figur calon kepala daerah. Suasananya kurang lebih akan sama dengan pemilu-pilpres serentak."
"Perolehan suara parpol di pemilu legislatif akan tergantung sejauh apa popularitas calon kepala daerah yang diusung," jelasnya.
Alasan MK Putuskan Pemilu Tidak Lagi Serentak
Dalam putusannya, MK membeberkan beberapa alasan sehingga pemilu mulai tahun 2029 tidak lagi digelar serentak.
Pertama, beban kerja penyelenggara pemilu yang dirasa semakin berat ketika pemilu digelar serentak, sehingga turut memengaruhi kualitas penyelenggaraannya.
Hal ini berkaca dari penyelenggaraan Pemilu 2024 sebelumnya yang digelar secara serentak.
"Pertembungan tahun penyelenggaraan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, berakibat terjadinya impitan sejumlah tahapan dalam penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPR, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dengan sejumlah tahapan awal dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota."
"Dengan adanya fakta berimpitan sejumlah tahapan pemilihan umum tersebut, maka tidak bisa dicegah atau dihindari terjadinya tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu, yang dalam batas penalaran yang wajar berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan pemilihan umum," kata hakim anggota, Arief Hidayat, dikutip dari YouTube Mahkamah Konstitusi RI.
Selain berpengaruh terhadap penyelenggaraannya, pemilu serentak juga berdampak terhadap partai politik (parpol) dalam mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi.
Pasalnya, parpol seakan dipaksa untuk mempersiapkannya secara instan ribuan kadernya untuk berkompetisi di dalam pemilu serentak, yaitu dari Pileg, Pilkada, hingga Pilpres.
"Akibatnya, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik," kata Arief.
Hakim juga menganggap pemilu serentak membuat parpol tidak berdaya, sehingga lebih mengedepankan politik praktis seperti memilih calon yang akan berkontestasi hanya berdasarkan popularitasnya saja serta berdasarkan keinginan pemilik modal.
Sehingga, membuat perekrutan calon-calon yang akan mengisi jabatan publik lewat pemilu hanya bersifat transaksional saja.
Tak cuma berdampak ke parpol dan penyelenggaranya, pemilu serentak menurut hakim MK juga berpengaruh terhadap masyarakat atau pemilih.
Hakim menganggap pemilu serentak justru membuat pemilih jenuh karena banyaknya calon yang harus dipilih yaitu dari level DPRD kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD, hingga Presiden dan Wakil Presiden.
"Bahkan, jika ditelusuri pada masalah yang lebih teknis dan detail, kejenuhan tersebut dipicu oleh pengalaman pemilih yang harus mencoblos dan menentukan pilihan di antara banyak calon dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota yang menggunakan model lima kotak," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Hakim menilai. dengan proses semacam itu mempengaruhi kedaulatan pemilih.
Selain itu, digelarnya pemilu serentak juga berdampak kepada kondisi para anggota penyelenggara yang bisa sakit hingga berujung meninggal dunia dengan berkaca pada Pemilu 2019 lalu.
"Tidak hanya itu, misalnya pasca pemungutan suara di TPS pada Pemilihan Umum 2019, karena soal teknis penghitungan suara yang rumit dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara, banyak penyelenggara pemilihan umum menjadi korban, baik yang sakit maupun meninggal dunia," kata Saldi Isra.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.