Senin, 29 September 2025

MK: Pemilu-Pilkada Serentak Jadi Penyebab Politik Transaksional di Tubuh Parpol

Mahkamah Konstitusi (MK) kini memutuskan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada mulai tahun 2029 mendatang dilaksanakan secara terpisah.

Tribunnews.com/ Danang Triatmojo
MK HAPUS KESERENTAKAN - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta pada Kamis (26/6/2025). MK memutuskan Pemilu dan Pilkada tak lagi serentak. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) kini memutuskan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada mulai tahun 2029 mendatang dilaksanakan secara terpisah.

Hakim Arief Hidayat dalam pertimbangannya menyoroti ihwal partai politik yang mudah terjebak dalam pendekatan praktis.

Sehingga di satu sisi mengikis idealisme dan ideologi partai politik.

"Akibatnya, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik," ujar Arief dalam sidang pembacaan putusan perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Akibat pemilu dan pilkada serentak, partai politik disebut harus menyiapkan ribuan kader untuk dapat bersaing dan berkompetisi pada semua jenjang pemilihan.

Selain itu, dengan jadwal yang berdekatan, partai politik tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan perekrutan calon anggota legislatif pada pemilu.

Serta menyebabkan pelemahan pelembagaan partai politik yang pada titik tertentu partai politik menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas dan kepentingan politik praktis.

"Misalnya, partai politik menjadi lebih terbuka terhadap kemungkinan untuk mengikuti keinginan para pemilik modal," jelas Arief.

"Dan semata memperhitungkan popularitas calon nonkader karena partai politik tidak lagi memiliki kesempatan, waktu, dan energi untuk mempersiapkan kader sendiri dalam waktu yang hampir bersamaan," sambungnya.

Akibatnya, perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilihan umum membuka lebar peluang yang didasarkan pada sifat transaksional, sehingga pemilihan umum jadi jauh dari proses yang ideal dan demokratis.

Sebagai informasi, ke depan, pemilu akan dibagi menjadi dua tahap: pemilu nasional dan pemilu lokal (daerah) dengan jeda minimal dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan.

Secara teknis, pemilu nasional akan mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI.

Sementara itu, pemilu lokal akan mencakup pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Kini, MK menyatakan norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa:

"Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota."

Dengan pemaknaan tersebut, MK menegaskan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada secara serentak tidak bisa lagi dilakukan dalam satu waktu bersamaan.

Norma-norma lain terkait model penyelenggaraan pemilu ke depan pun harus disesuaikan dengan makna tersebut.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan