MK: Pemilu-Pilkada Serentak Jadi Penyebab Politik Transaksional di Tubuh Parpol
Mahkamah Konstitusi (MK) kini memutuskan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada mulai tahun 2029 mendatang dilaksanakan secara terpisah.
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) kini memutuskan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada mulai tahun 2029 mendatang dilaksanakan secara terpisah.
Hakim Arief Hidayat dalam pertimbangannya menyoroti ihwal partai politik yang mudah terjebak dalam pendekatan praktis.
Sehingga di satu sisi mengikis idealisme dan ideologi partai politik.
"Akibatnya, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik," ujar Arief dalam sidang pembacaan putusan perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Akibat pemilu dan pilkada serentak, partai politik disebut harus menyiapkan ribuan kader untuk dapat bersaing dan berkompetisi pada semua jenjang pemilihan.
Selain itu, dengan jadwal yang berdekatan, partai politik tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan perekrutan calon anggota legislatif pada pemilu.
Serta menyebabkan pelemahan pelembagaan partai politik yang pada titik tertentu partai politik menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas dan kepentingan politik praktis.
"Misalnya, partai politik menjadi lebih terbuka terhadap kemungkinan untuk mengikuti keinginan para pemilik modal," jelas Arief.
"Dan semata memperhitungkan popularitas calon nonkader karena partai politik tidak lagi memiliki kesempatan, waktu, dan energi untuk mempersiapkan kader sendiri dalam waktu yang hampir bersamaan," sambungnya.
Akibatnya, perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilihan umum membuka lebar peluang yang didasarkan pada sifat transaksional, sehingga pemilihan umum jadi jauh dari proses yang ideal dan demokratis.
Sebagai informasi, ke depan, pemilu akan dibagi menjadi dua tahap: pemilu nasional dan pemilu lokal (daerah) dengan jeda minimal dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan.
Secara teknis, pemilu nasional akan mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI.
Sementara itu, pemilu lokal akan mencakup pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Kini, MK menyatakan norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa:
"Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota."
Dengan pemaknaan tersebut, MK menegaskan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada secara serentak tidak bisa lagi dilakukan dalam satu waktu bersamaan.
Norma-norma lain terkait model penyelenggaraan pemilu ke depan pun harus disesuaikan dengan makna tersebut.
Aktivis yang Terobos Rapat RUU TNI di Fairmont Tak Terima MK Sebut DPR Tak Langgar Aturan |
![]() |
---|
KPK Kaji Aturan Larangan Rangkap Jabatan Bagi Wakil Menteri |
![]() |
---|
Berdampak pada Pelaksanaan Pemilu, HNW Tekankan Pentingnya Kajian Serius Putusan MK 135 |
![]() |
---|
Pasca-Putusan MK yang Tolak Gugatan Hasil PSU Pilgub Papua, Ini Tanggapan Mathius Fakhiri |
![]() |
---|
MK Tak Terima Gugatan Soal Syarat Polisi Harus S1, Pemohon Dinilai Tak Punya Legal Standing |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.