UU Pemilu
Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah Dinilai Tak Jamin Perbaikan Kualitas
Formappi menilai putusan MK yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan daerah mulai 2029 bukanlah langkah luar biasa.
Penulis:
Fersianus Waku
Editor:
Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan daerah mulai 2029 bukanlah langkah luar biasa.
Peneliti Formappi, Lucius Karus berpendapat, perubahan teknis jadwal Pemilu semacam ini sudah sering terjadi sejak era reformasi dan tidak serta-merta berdampak pada kualitas Pemilu.
"Tentu saja dengan perubahan waktu penyelenggaraan seperti ini belum ada jaminan bahwa ada perbaikan kualitas Pemilu ke depannya. Tak ada jaminan juga bahwa praktik penyelenggaraan Pemilu menjadi lebih berintegritas," kata Lucius Karus kepada Tribunnews.com, Kamis (26/6/2025).
Menurut Lucius Karus, kualitas pemilu justru sangat bergantung pada keseriusan semua pemangku kepentingan; DPR, pemerintah, dan partai politik dalam menjalankan tanggung jawabnya.
Dia menilai tanpa pembenahan regulasi dan sistem kepartaian, perubahan waktu pemilu hanya menjadi persoalan teknis.
"Jadi percuma utak-atik waktu atau teknis penyelenggaraan ini kalau dampaknya hanya untuk urusan teknis saja, tetapi tidak menyentuh ke urusan demokrasi yang substantif," ujar Lucius.
Baca juga: Plus Minus Pemilu Tak Lagi Serentak Mulai 2029, Peta Politik Nasional Dinilai Tak Berubah
Lucius menekankan pentingnya revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada secara komprehensif agar tidak terus-menerus menjadi sasaran uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Dia juga menyoroti lemahnya legislasi DPR yang kerap kali diuji publik karena tidak menyelesaikan akar persoalan kepemiluan.
"DPR sesungguhnya harus malu ketika suatu UU yang mereka hasilkan setiap saat jadi sasaran uji materi publik ke MK dan MK akhirnya mengubah apa yang sudah diputuskan DPR," tegas Lucius Karus.
Lucius Karus menambahkan, partai politik semestinya menjadi aktor utama dalam mendorong reformasi kepemiluan.
Bagi dia, jika partai tidak menunjukkan keseriusan, sulit mengharapkan perubahan dari DPR maupun pemerintah.

MK dalam pertimbangannya menilai bahwa pelaksanaan seluruh jenis pemilu secara serentak menimbulkan sejumlah persoalan.
Mulai dari beban berat bagi penyelenggara, turunnya kualitas pelaksanaan tahapan, hingga kompleksitas teknis dan logistik.
“Terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat pada Kamis (26/6/2025).
MK menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada, bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai sebagai kewajiban untuk menyelenggarakan seluruh pemilu secara serentak.
Oleh karena itu, MK memberikan tafsir konstitusional baru bahwa pemungutan suara dilakukan dalam dua tahap.
Norma-norma lain terkait teknis pelaksanaan Pemilu juga wajib disesuaikan dengan penafsiran baru MK tersebut.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.