RUU KUHAP
Akademisi Ingatkan Potensi KUHAP Jadi Instrumen Represi Aparat Penegak Hukum
RUU KUHAP 2025 dikhawatirkan menjadi instrumen represi oleh aparat penegak hukum (APH).
Penulis:
Ilham Rian Pratama
Editor:
Wahyu Aji
“India juga KUHAP ya baru. Kalau kita penyitaan masih harus disaksikan aparat desa. Mereka sudah pakai HP, bisa live, sudah menggunakan teknologi dalam prosedur. Kita belum sampai sana. Malaysia sudah menerapkan AI. Bagian Serawak itu putusan pengadilan pakai AI. Kita belum sampai sana,” ucap Fachrizal.
Dalam kesempatan sama, akademisi UGM, Sri Wiyanti Eddyono, mengkritik selama ini RKUHAP masih terlalu konvensional dalam memosisikan korban sebagai subjek hukum. Meskipun hak-hak korban telah diakui, menurutnya, tidak diintegrasikan secara sistemik dalam mekanisme peradilan pidana.
Dirinya menguraikan hak atas pemulihan, kompensasi, restitusi, hingga partisipasi korban dalam proses hukum, masih bersifat deklaratif dan belum operasional.
Lebih lanjut, Sri menyoroti absennya pengaturan mengenai pendamping korban dalam seluruh tahapan proses pidana di RKUHAP, mulai dari pelaporan, penyidikan, hingga persidangan.
Padahal dalam banyak kasus, terutama kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, keberadaan pendamping korban seperti psikolog, konselor, atau paralegal sangat krusial untuk menjamin rasa aman dan mencegah reviktimisasi.
Ketidakhadiran pendamping ini membuat korban rentan terhadap tekanan, intimidasi, hingga kriminalisasi balik selama proses hukum berlangsung.
Ia juga menambahkan bahwa biaya-biaya penyidikan seperti visum sering kali dibebankan kepada korban, padahal semestinya ditanggung oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab dalam penegakan hukum yang adil.
Dirinya pun menyayangkan tidak adanya kejelasan siapa yang bertanggung jawab terhadap perlindungan korban antara LPSK, penyidik, maupun aparat penuntut.
Dalam banyak kasus, korban justru tersingkir dari perhatian sistem hukum karena prosedur yang lebih berpihak pada pelaku.
Dalam diskusi ini, akademisi UGM, Yance Arizona, menggarisbawahi bahwa dari perspektif hukum tata negara, pembentukan RKUHAP sangat problematis karena minimnya partisipasi bermakna.
Menurutnya, tidak ada mekanisme formal di DPR yang dapat diakses publik untuk menyampaikan dan memperjuangkan pendapat.
Proses legislasinya tertutup dan tidak partisipatif, sehingga membuka ruang bagi judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Yance juga menekankan bahwa RKUHAP sebagai hukum acara pidana berkaitan erat dengan hukum tata negara karena menyangkut kontrol atas kekuasaan negara untuk menggunakan kekerasan secara sah.
Ia mengutip Max Weber bahwa negara memiliki hak monopoli atas kekerasan, tetapi harus dibatasi agar tidak menjadi alat represi.
Ia membandingkan konteks sejarah KUHAP 1981 yang lahir di tengah rezim otoriter, dan karenanya tidak relevan lagi jika model hukum acara tersebut tetap dipertahankan di era demokrasi saat ini.
RUU KUHAP
Komisi III Jawab KPK Soal Izin Penyitaan dari Pengadilan dalam RKUHAP: Demi Negara Hukum yang Tertib |
---|
Komisi III DPR Pastikan Terbuka Jika KPK Ingin Bahas RKUHAP |
---|
Dasco Minta Komisi III DPR Segera Bahas RUU KUHAP dengan KPK |
---|
KPK Sampaikan 17 Poin Kritis RKUHAP, Komisi III DPR Bantah Upaya Lemahkan KPK |
---|
Abraham Samad Sebut RUU KUHAP Akan Mempersulit KPK Berantas Korupsi |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.