Senin, 29 September 2025

RUU KUHAP

Akademisi Ingatkan Potensi KUHAP Jadi Instrumen Represi Aparat Penegak Hukum

RUU KUHAP 2025 dikhawatirkan menjadi instrumen represi oleh aparat penegak hukum (APH). 

Editor: Wahyu Aji
HandOut/IST
BAHAS RKUHP - Focus Group Discussion (FGD) dan webinar bertema “Menimbang Konstitusionalitas RKUHAP: Prosedur Modern atau Instrumen Represi?”, Rabu, (25/06/2025). 

“India juga KUHAP ya baru. Kalau kita penyitaan masih harus disaksikan aparat desa. Mereka sudah pakai HP, bisa live, sudah menggunakan teknologi dalam prosedur. Kita belum sampai sana. Malaysia sudah menerapkan AI. Bagian Serawak itu putusan pengadilan pakai AI. Kita belum sampai sana,” ucap Fachrizal.

Dalam kesempatan sama, akademisi UGM, Sri Wiyanti Eddyono, mengkritik selama ini RKUHAP masih terlalu konvensional dalam memosisikan korban sebagai subjek hukum. Meskipun hak-hak korban telah diakui, menurutnya, tidak diintegrasikan secara sistemik dalam mekanisme peradilan pidana. 

Dirinya menguraikan hak atas pemulihan, kompensasi, restitusi, hingga partisipasi korban dalam proses hukum, masih bersifat deklaratif dan belum operasional. 

Lebih lanjut, Sri menyoroti absennya pengaturan mengenai pendamping korban dalam seluruh tahapan proses pidana di RKUHAP, mulai dari pelaporan, penyidikan, hingga persidangan. 

Padahal dalam banyak kasus, terutama kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, keberadaan pendamping korban seperti psikolog, konselor, atau paralegal sangat krusial untuk menjamin rasa aman dan mencegah reviktimisasi. 

Ketidakhadiran pendamping ini membuat korban rentan terhadap tekanan, intimidasi, hingga kriminalisasi balik selama proses hukum berlangsung.

Ia juga menambahkan bahwa biaya-biaya penyidikan seperti visum sering kali dibebankan kepada korban, padahal semestinya ditanggung oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab dalam penegakan hukum yang adil. 

Dirinya pun menyayangkan tidak adanya kejelasan siapa yang bertanggung jawab terhadap perlindungan korban antara LPSK, penyidik, maupun aparat penuntut. 

Dalam banyak kasus, korban justru tersingkir dari perhatian sistem hukum karena prosedur yang lebih berpihak pada pelaku.

Dalam diskusi ini, akademisi UGM, Yance Arizona, menggarisbawahi bahwa dari perspektif hukum tata negara, pembentukan RKUHAP sangat problematis karena minimnya partisipasi bermakna. 

Menurutnya, tidak ada mekanisme formal di DPR yang dapat diakses publik untuk menyampaikan dan memperjuangkan pendapat. 

Proses legislasinya tertutup dan tidak partisipatif, sehingga membuka ruang bagi judicial review ke Mahkamah Konstitusi. 

Yance juga menekankan bahwa RKUHAP sebagai hukum acara pidana berkaitan erat dengan hukum tata negara karena menyangkut kontrol atas kekuasaan negara untuk menggunakan kekerasan secara sah. 

Ia mengutip Max Weber bahwa negara memiliki hak monopoli atas kekerasan, tetapi harus dibatasi agar tidak menjadi alat represi.

Ia membandingkan konteks sejarah KUHAP 1981 yang lahir di tengah rezim otoriter, dan karenanya tidak relevan lagi jika model hukum acara tersebut tetap dipertahankan di era demokrasi saat ini. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan