RUU KUHAP
Akademisi Ingatkan Potensi KUHAP Jadi Instrumen Represi Aparat Penegak Hukum
RUU KUHAP 2025 dikhawatirkan menjadi instrumen represi oleh aparat penegak hukum (APH).
Penulis:
Ilham Rian Pratama
Editor:
Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – RUU KUHAP 2025 dikhawatirkan menjadi instrumen represi oleh aparat penegak hukum (APH).
Dominasi penyidikan dan upaya paksa menjadi beberapa catatan serius untuk ditiadakan agar KUHAP tak menjadi alat represi berdalih penegakan hukum.
Ketua Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi, mengatakan di berbagai negara, polisi memang bertugas sebagai penyidik.
Namun ia menggarisbawahi tidak semua tindak pidana bisa ditangani penyidik dari kepolisian.
“Kita ada pidana khusus, lingkungan, penyidikannya itu scientific evidence. Setahu saya di KLHK penyidiknya itu lulusan biologi, Bintara tamtama lulusan SMA pasti gak akan sanggup. Ini mau disentralisasi generalis,” katanya dalam Focus Group Discussion (FGD) dan webinar bertema “Menimbang Konstitusionalitas RKUHAP: Prosedur Modern atau Instrumen Represi?”, Rabu, (25/6/2025).
“Kalau koordinasi saja tidak apa. Kalau mau BAP itu harus penyidik polri saya kita itu menjadi tidak efisien karena penyidik Polri selanjutnya akan penuntut umum. Dua kali kerja ini,” imbuhnya.
Reformasi hukum seyogyanya menurut Fachrizal seharusnya tergambar dalam RKUHAP 2025.
Sebagai perbandingan internasional, Fachrizal menyoroti reformasi hukum acara pidana di India melalui Bharatiya Nagarik Suraksha Sanhita (BNSS) 2023, yang menggantikan CrPC 1973.
Menurutnya, BNSS memberikan inspirasi penting dalam hal keterlibatan jaksa sejak tahap awal penyidikan.
Dalam BNSS, jaksa tidak lagi hanya menjadi aktor pasif yang bertugas di pengadilan, tetapi memiliki peran pengawasan substantif terhadap proses penyidikan, termasuk atas laporan polisi atau First Information Report (FIR).
BNSS membentuk Directorate of Prosecution yang bertugas menilai kelayakan perkara sebelum dilimpahkan ke pengadilan.
Jaksa juga wajib mempertimbangkan pendapat korban sebelum mengajukan penghentian perkara—langkah yang memperkuat akuntabilitas penuntutan dan memperkaya aspek keadilan restoratif.
Selain itu, BNSS mewajibkan bahwa setiap FIR harus dikirimkan kepada hakim dalam waktu 24 jam dan memberikan akses kepada korban untuk mendapatkan salinan FIR.
Yang lebih penting, BNSS melegalkan e-FIR dan mendorong integrasi sistem pelaporan serta pelacakan perkara secara digital.
Dengan pendekatan ini, BNSS menunjukkan bahwa modernisasi prosedur peradilan bisa berjalan beriringan dengan perlindungan hak asasi dan akuntabilitas institusi penuntutan.
RUU KUHAP
Komisi III Jawab KPK Soal Izin Penyitaan dari Pengadilan dalam RKUHAP: Demi Negara Hukum yang Tertib |
---|
Komisi III DPR Pastikan Terbuka Jika KPK Ingin Bahas RKUHAP |
---|
Dasco Minta Komisi III DPR Segera Bahas RUU KUHAP dengan KPK |
---|
KPK Sampaikan 17 Poin Kritis RKUHAP, Komisi III DPR Bantah Upaya Lemahkan KPK |
---|
Abraham Samad Sebut RUU KUHAP Akan Mempersulit KPK Berantas Korupsi |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.