Jumat, 3 Oktober 2025

Tambang Nikel di Raja Ampat

Profil 4 Perusahaan Tambang Nikel di Raja Ampat, dari Anak Usaha BUMN hingga Perusahaan China

4 perusahaan nikel: PT Gag Nikel (PT GN), PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM), PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP).

|
Penulis: Rifqah
Kolase Tribunnews/Greenpeace Indonesia
PERUSAHAAN TAMBANG NIKEL - Kerusakan ekologis terlihat nyata akibat aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.  4 perusahaan nikel: PT Gag Nikel (PT GN), PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM), PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP). 

IUP tersebut memiliki nomor 5922.00 dan valid hingga 26 Februari 2033. 

Sementara KLH menyebut, PT Kawei Sejahtera Mining terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH seluas 5 hektar di Pulau Kawe. 

Aktivitas PT Kawei Sejahtera Mining tersebut menyebabkan sedimentasi di pesisir pantai. 

KLH mengatakan, akan memberikan sanksi administratif berupa pemulihan lingkungan dan perusahaan terancam dikenakan pasal perdata.

Pengamat Harap Aktivitas Tambang Nikel di Raja Ampat Dihentikan Total

Pengamat maritim cum Dewan Pakar Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Marcellus Hakeng Jayawibawa, berharap pemerintah meniadakan total aktivitas pertambangan di wilayah Raja Ampat.

Sebab, keberadaan Raja Ampat sebagai kawasan global geopark yang diakui UNESCO tidak seharusnya dipertaruhkan oleh kegiatan pertambangan skala besar. 

Apalagi, Raja Ampat juga menjadi rumah bagi 75 persen jenis terumbu karang dunia. Hilangnya wilayah ini akan menjadi kerugian global.

"Ini bukan semata-mata keputusan administratif, tetapi refleksi dari konflik mendalam antara dua kepentingan besar, yakni pembangunan ekonomi melalui hilirisasi nikel dan pelestarian lingkungan hidup."

"Harapan saya keputusan yang diambil tidak hanya penghentian sementara saja, tapi harus sampai penghentian total," ujar Hakeng dalam keterangannya, Jumat (6/6/2025).

"Raja Ampat adalah rumah bagi 75 persen jenis terumbu karang dunia. Kehilangan wilayah ini akibat tambang bukan hanya kerugian bagi Papua Barat Daya, tapi kerugian global," jelas dia.

Menurutnya, keputusan penghentian pertambangan tersebut bisa menunjukkan bahwa negara mulai menyadari urgensi perlindungan lingkungan di wilayah-wilayah dengan nilai ekologis tinggi. 

Hakeng menjelaskan, pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara eksplisit melarang eksploitasi tambang di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran. 

Namun, realitanya, pembukaan tambang di kawasan tersebut tetap dilakukan hingga memunculkan pertanyaan serius soal konsistensi Indonesia utamanya soal penegakan hukum lingkungan. 

Berdasarkan laporan Greenpeace yang dirilis baru-baru ini, diketahui lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi di Pulau Gag telah mengalami kerusakan akibat aktivitas pertambangan tersebut. 

Sedimentasi yang mengalir ke laut juga telah menyebabkan kerusakan pada terumbu karang, mengganggu sistem ekologi laut yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat.

Halaman
1234
Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved