Hasto Kristiyanto dan Kasusnya
Hasto Kristiyanto Ungkap KPK Sita Buku Catatan Berisi Rahasia Partai
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan KPK menyita buku catatan rahasia partai lewat penggeledahan Kusnadi. Ia pun mempertanyakan dalam sidang.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus suap dan perintangan penyidikan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan KPK menyita buku catatan rahasia partai lewat penggeledahan terhadap Kusnadi.
Adapun hal itu disampaikan Hasto Kristiyanto saat bertanya kepada Kusnadi yang hadir menjadi saksi dalam persidangan di PN Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (8/5/2025).
"Saya ingin bertanya kepada saudara Kusnadi untuk menggambarkan peristiwa pada tanggal 10 Juni 2024 ketika saya dipanggil sebagai saksi di KPK," kata Hasto dalam persidangan.
Hasto pun menyinggung buku catatan DPP PDIP saat bertanya kepada Kusnadi.
Kemudian saksi Kusnadi mengatakan saat berada di gedung KPK.
Baca juga: Momen Ganjar Pranowo Peluk Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto di Ruang Persidangan
Hasto lalu menerangkan bahwa hal itu terjadi setelah selesai pemeriksaan KPK keduanya pulang bersama-sama.
"Kemudian setelah itu ke DPP. Setelah itu saudara tahu tidak bahwa kapan saya mengetahui bahwa buku catatan DPP PDI Perjuangan yang berisi rahasia partai itu ternyata juga disita oleh KPK," kata Hasto Kristiyanto.
Kusnadi mengatakan bahwa penyidik KPK sudah meminta izin kepada Hasto Kristiyanto.
"Jadi saudara juga menegaskan bahwa saya tidak pernah tahu bahwa buku catatan dari DPP yang berisi rahasia-rahasia partai juga ikut disita. Padahal itu berisi catatan-catatan rapat strategi pemenangan dan Pilkada," kata Hasto Kristiyanto kemudian dijawab betul oleh Kusnadi.
Baca juga: Sidang Hasto Kristiyanto Hari Ini, Kusnadi dan Nur Hasan Jadi Saksi di Persidangan
Seperti diketahui Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam pengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku.
Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa bersama-sama dengan orang kepercayaannya yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 ribu Dollar Singapura (SGD) kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Uang tersebut diberikan kepada Wahyu agar KPU bisa mengupayakan menyetujui pergantian calon anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Jaksa mengatakan, peristiwa itu bermula pada 22 Juni 2019 dilaksanakan rapat pleno DPP PDIP untuk membahas perolehan suara Nazarudin Kiemas calon anggota legislatif dapil Sumatera Selatan 1 yang telah meninggal dunia.
Adapun dalam pemilu 2019, Nazarudin dinyatakan memperoleh 34.276 suara, disusul Riezky Aprilia 44.402 suara, Darmadi Djufri 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, Diana Oktasari 13.310 suara.
Kemudian di urutan kelima ada Harun Masiku dengan perolehan suara 5.878 suara, Suharti 5.669 suara dan Irwan Tongari 4.240 suara.
Lalu berdasarkan hasil rapat pleno tersebut, Hasto selaku Sekjen memerintahkan Tim Hukum PDIP, Donny Tri Istiqomah menjadi pengacara partai untuk menggugat materi Pasal 54 ayat (5) huruf k tentang peraturan KPU nomor 3 tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA).
Setelah itu Hasto memanggil Donny dan Saeful Bahri ke rumah aspirasi di Jakarta Pusat untuk memberi perintah agar membantu Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR RI.
Setelah itu selang satu bulan yakni Juli 2019, DPP PDIP kembali menggelar rapat pleno dengan keputusan menetapkan Harun Masiku sebagai caleg mengganti posisi Nazarudin Kiemas.
Atas keputusan itu Hasto pun memberitahu kepada Donny Tri untuk mengajukan surat permohonan kepada KPU.
Kemudian DPP PDIP bersurat kepada KPU yang pada pokoknya meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku.
Setelah tidak bisa memenuhi permintaan DPP PDIP, KPU pun menetapkan Riezky Aprilia sebagai calon anggota DPR RI terpilih berdasarkan rapat pleno terbuka pada 31 Agustus 2019.
Akan tetapi operasi pengajuan Harun Masiku sebagai anggota DPR masih berlanjut.
Dimana Hasto meminta fatwa dari MA hingga menyuap Wahyu Setiawan sebesar 57.350 SGD atau setara Rp 600 juta.
Atas perbuatan tersebut, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.