Senin, 29 September 2025

Menyelamatkan Reformasi: Kritik Terhadap RUU Polri di Tengah Semangat Pembatasan

Pasal 14 Ayat 1 (o), memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penyadapan tanpa adanya mekanisme pengawasan independen. 

|
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Erik S
KOMPAS.com/NURWAHIDAH
RUU POLRI -Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dan RUU Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menimbulkan kekhawatiran publik karena adanya sejumlah ketentuan yang berpotensi menjadikan Polri sebagai lembaga superbody. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dan RUU Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menimbulkan kekhawatiran publik karena adanya sejumlah ketentuan yang berpotensi menjadikan Polri sebagai lembaga superbody

Salah satunya soal kewenangan luas lintas sektor tanpa diiringi pengawasan yang memadai.

Sementara TNI sebagai institusi militer yang memiliki kekuatan nyata justru rela dibatasi ruang geraknya dalam kehidupan sipil sebagai bagian dari komitmen reformasi pasca-Orde Baru.

Baca juga: Pembatalan Mutasi Anak Try Sutrisno Letjen Kunto Arief, ISESS: Kurang Matangnya Perencanaan

Ini menjadi pelajaran penting dan sudah seharusnya Polri meneladani sikap tersebut, bukan justru memperluas perannya secara diam-diam. 

Publik juga pernah dengan tegas menolak RUU TNI yang dianggap terlalu memberi kekuasaan berlebih. 

Hal ini dilakukan karena rasa cinta dan harapan terhadap TNI agar tetap profesional dan tidak kembali menjadi alat politik. 

Kritik terhadap RUU Polri tentu harus dipahami sebagai bentuk kasih sayang publik terhadap Polri, bukan sebagai permusuhan.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengingatkan bahwa penambahan kewenangan terhadap aparat penegak hukum, khususnya penyidik Polri, dapat membuka ruang semakin luas bagi penyalahgunaan wewenang.

"Dengan kewenangan sekarang saja sudah banyak kasus abuse of power, apalagi jika diperluas. Penambahan kewenangan pada penyidik atau APH jelas berkebalikan dengan semangat KUHAP yang pada dasarnya untuk melindungi masyarakat," kata Bambang saat dihubungi, Sabtu (3/5/2025).

Menurutnya, semangat KUHAP adalah melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan aparat. Karena itu, penguatan seharusnya bukan pada aspek kewenangan, tetapi pada mekanisme pengawasan dan kontrol.

Baca juga: Kasus Pemerasan oleh Polisi Marak, ISESS:  Kepemimpinan Lemah, Kapolri Harus Dievaluasi

"Kewenangan harus dibatasi dengan sistem kontrol dan pengawasan yang ketat melalui mekanisme check and balance berbagai pihak," ujarnya.

Ia menekankan bahwa lembaga seperti kejaksaan, advokat, pengadilan, serta partisipasi masyarakat sipil harus ikut terlibat dalam mekanisme pengawasan terhadap penyidik.
 
"KUHAP harus menjadi salah satu elemen sistem kontrol dalam mekanisme penyidikan, maupun penuntutan bahkan sampai pengadilan untuk melindungi hak-hak masyarakat," tegasnya.

Lebih jauh, Bambang menyoroti beberapa praktik penyidikan yang terindikasi abuse of power yang tidak diatur dalam KUHAP saat ini adalah kewenangan kepolisian melakukan penetapan status tersangka tanpa batas waktu yang tak terhingga sebelum dinyatakan P-21 oleh kejaksaan.

"Atau sebaliknya menerbitkan surat perintah pemberhentikan penyelidikan (SP2 Lid) yang hanya berdasar surat edaran Kapolri bukan diatur dalam KUHAP," tegasnya.

Bambang menilai, jika hal tersebut tetap diloloskan, maka sama saja dengan menjadikan Polri sebagai lembaga superbody. Tentunya, hal tersebut sangat berbahaya.

Baca juga: Dorong Proses Pidana di Kasus Dugaan Asusila, ISESS Minta Kapolres Ngada Dijerat Pasal Berlapis

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan