Jumat, 3 Oktober 2025

Amnesty International Soroti 5 Fenomena Menguatnya Praktik Otokrasi di Indonesia

Ada tiga indikator utama yang bisa dijadikan ukuran apakah sebuah negara pantas disebut sebagai negara demokrasi atau negara otokrasi.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Choirul Arifin
Tribunnews/Gita Irawan
NEGARA OTOKRASI - Amnesty Internasional meluncurkan laporan tahunan yang menyoroti situasi hak asasi manusia di 150 negara di dunia, termasuk Indonesia, di kantor Amnesty Internasional Indonesia Menteng, Jakarta pada Selasa (29/4/2025). Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengungkap lima fenomena di Indonesia yang menunjukkan menguatnya praktik otoritarianisme di Indonesia.  

Ia memandang fenomena serangan terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia mencapai level yang mengkhawatirkan.

"Januari sampai Desember misalnya Amnesty mencatat paling tidak 13 pelanggaran kebebasan berekspresi. Artinya setiap satu bulan selalu ada. 15 orang menjadi korban, termasuk dengan undang-undang ITE yang paling menonjol mungkin kasus Septia Dwi Pertiwi yang mengkritik tempatnya bekerja, lalu mengalami kriminalisasi," ungkapnya.

Ketiga, pengawasan di luar hukum dengan penyalahgunaan teknologi.

Tahun lalu, kata Usman, Amnesty mengumumkan laporan penelitian tentang pembelian alat-alat sadap oleh Indonesia khususnya oleh pihak kepolisian dan oleh Badan Sandi dan Siber Negara. 

"Amnesty merujuk data-data terbuka. Amnesty meminta jawaban dari pihak BSSN dan juga kepolisian. Sayangnya jawaban itu ditolak. Pada mulanya Amnesty ditolak karena dianggap lembaga internasional, lembaga asing, dan tidak punya hak untuk meminta data itu," kata Usman.

Baca juga: Amnesty Internasional: Israel Lakukan Genosida yang Disiarkan Secara Langsung atau Live Streaming

"Kami jelaskan kami memang lembaga internasional, tapi kami punya badan hukum di Indonesia yang dengan demikian membuat kami memiliki hak untuk bertanya dan meminta informasi. Tapi pada akhirnya kepolisian juga tidak memenuhi permintaan kami," lanjutnya.

Fenomena keempat, kata Usman, adalah diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

Soal itu, ia mencontohkan kasus diskriminasi terhadap warga minoritas beragama seperti Ahmadiyah Desember 2024. 

"Jamaah Ahmadiyah dilarang untuk menggelar pertemuan tahunan. Pertemuan itu tidak dilakukan secara tertutup, tidak dilakukan dengan mobilisasi senjata, tidak punya tujuan untuk menggulingkan pemerintah atau mengganti ideologi negara," kata Usman.

"Pertemuan itu, pertemuan yang damai, pertemuan yang biasa dimana anggota jemaah Ahmadiyah menggelarnya bertahun-tahun. Tapi tiba-tiba dilarang," lanjut dia.

Fenomena kelima, ujarnya, adalah kebijakan proyek ekonomi yang dilakukan tanpa memperhatikan kaidah hak asasi manusia.

Kebijakan tersebut, ungkap Usman, sebenarnya berlangsung dalam tahun-tahun silam di mana pembangunan Proyek Strategis Nasional tidak dilaksanakan dengan menghormati hak masyarakat untuk diajak berpartisipasi, berkonsultasi, tidak melalui proses persetujuan di awal atas dasar informasi. 

"Bahkan banyak dari mereka mengalami intimidasi, mengalami kriminalisasi seperti yang dialami oleh masyarakat adat Melayu di PSN Rempang ecocity, atau masyarakat adat di Kalimantan yang mengalami penggusuran akibat dari pembangunan Ibu Kota Negara," pungkas Usman.

 Sejumlah narasumber yang juga turut memberikan pandangannya antara lain Sekjen Amnesty International Agnes Callamard, Ketua Badan Pengurus Amnesty International Indonesia Marzuki Darusman, Komisioner Komnas HAM Putu Elvina, dan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Setri Yasra.

Memilih Optimistis

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved