Amnesty International Soroti 5 Fenomena Menguatnya Praktik Otokrasi di Indonesia
Ada tiga indikator utama yang bisa dijadikan ukuran apakah sebuah negara pantas disebut sebagai negara demokrasi atau negara otokrasi.
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Choirul Arifin
Menanggapi laporan tahunan Amnesty International tersebut, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Sugiat Santoso, memilih optimistis.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra tersebut mengajak masyarakat untuk melihat rekam jejak kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dalam enam bulan pertama.
Menurutnya salah satu rencana kebijakan yang mungkin bisa menjadi catatan penting terkait penegakan hak asasi manusia dalam periode tersebut adalah terkait rencana pemberian amnesti masal yang menargetkan 44 ribu warga binaan yang ada di rutan dan lapas dengan pendekatan kemanusiaan, demokratisasi, dan HAM.
Menurutnya, kebijakan tersebut sangat luhur dan perlu diawasi bersama-sama agar rencana kebijakan tersebut bisa tercapai sesuai dengan tujuannya.
Selain itu, ia menekakan Komisi XIII selalu terbuka dan siap berkolaborasi dengan civil society, media, institusi rakyat manapun untuk berpihak pada rakyat yang merasa terzalimi dalam konteks advokasi kasus yang ada di tengah-tengah rakyat.
Ia mencontohkan, Komisi XIII DPR RI bersama Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Kementerian HAM sudah sepakat untuk mengadvokasi kasus menyangkut Oriental Circus Indonesia supaya sampai tuntas.
"Kita harus tetap beroptimisme. Optimisme itulah yang akan mendorong kita melakukan kebaikan-kebaikan baik dalam konteks bernegara, berbangsa, dan dalam konteks global," pungkas Sugiat.
Seperti Katak yang Direbus Perlahan
Dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Diah Kusumaningrum menjelaskan saat ini negara-negara di dunia tengah mengalami percepatan otokratisasi dan otokratisasi gelombang ketiga.
Menurutnya, negara-negara di dunia telah mengalami otokratisasi sejak 10 sampai 15 tahun terakhir.
Bahkan, lanjut dia, bila dilihat skor demokrasi Indonesia di Freedom House, sejak 2014 skornya sudah turun dari negara yang bebas menjadi bebas sebagian.
Kedua, terkait otokratisasi gelombang ketiga, ada kecenderungan para pemimpin otoriter di dunia tidak serta-merta menutup keran demokrasi, melainkan justru menggunakan instrumen-instrumen demokrasi untuk konsolidasi kekuatan.
"Kita lihat ada Trump (Presiden AS), Bolsonaro (Presiden Brazil), ada Modi (Perdana Menteri India) ada Orban (Perdana Menteri Hungaria), di kita juga ada. Jadi kita lihat betapa orang-orang ini tidak mengunci langsung keran demokrasi, tetapi memanfaatkannya untuk mengkonsolidasi kekuasaan," ungkap dia.
Menurutnya, salah satu hal yang menyebabkan terjadinya percepatan otokratisasi dan otokrtisasi gelombang ketiga adalah para pemimpin otoriter (otokrat) ini belajar satu sama lain.
Selain itu, terdapat tiga mekanisme yang terjadi dalam masyarakat yang perlu dicatat terkait itu.
Satu di antaranya, kata dia, ada penyangkalan.
Digaji Lebih Rendah, Institut HAM Belanda Akui Ada Diskriminasi Terhadap Pelaut RI dan Filipina |
![]() |
---|
Kementerian HAM dan Unika Santu Paulus Ruteng Matangkan Pembentukan Pusat Studi HAM |
![]() |
---|
Presiden Prabowo Didesak Bentuk Tim Independen Pencari Fakta Terkait 11 Korban Jiwa Demo Rusuh |
![]() |
---|
Rekam Jejak Delpedro Marhaen, Direktur Lokataru Foundation yang Diduga Ditangkap Polda Metro Jaya |
![]() |
---|
Terkait Kasus Affan Kurniawan, Komnas HAM Rilis 9 Rekomendasi Hentikan Represi Aparat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.