Ketua MA Sebut Integritas Hakim Masih Jadi Masalah Utama yang Harus Diselesaikan
Ketua MA Sunarto mengatakan integritas hakim masih menjadi masalah utama yang harus diselesaikan, dibenahi bersama.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Mahkamah Agung (MA) Sunarto mengatakan, integritas hakim masih menjadi masalah utama yang harus diselesaikan.
Sunarto menyampaikan hal tersebut pada sambutannya, dalam acara Peringatan Puncak Hari Ulang Tahun Ikatan Hakim Indonesia ke-72, yang digelar secara hybrid, Rabu (23/4/2025).
"Bahwa integritas masih menjadi masalah utama dan menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan kita benahi bersama," ucap Sunarto, dalam sambutannya.
Sunarto menyadari ada badai yang tengah mengguncang dunia peradilan Indonesia saat ini.
Lanjutnya, sorotan publik terhadap hakim-hakim di Indonesia sedang tajam-tajamnya akibat beberapa peristiwa ironis, beberapa waktu terakhir.
Diketahui, mencuat kabar adanya sejumlah hakim yang terjerat kasus dugaan suap putusan lepas dalam perkara Crued Palm Oil (CPO).
"Integritas bukanlah sesuatu yang bisa diwujudkan dalam satu malam, melainkan usaha dan komitmen bersama dalam waktu panjang," jelasnya.
Baca juga: Ada Komunikasi Penyidik Kejagung dengan Hakim Ali Muhtarom Sebelum Temukan Rp5,5 M di Bawah Kasur
Lebih lanjut, ia mengatakan, hakim adalah jantungnya keadilan.
Penyimpangan yang dilakukan hakim dapat menjadi alat legitimasi ketidakbenaran dan menodai makna hukum sebagai penjaga keseimbangan di dalam kehidupan.
Menurutnya, ketika integritas hakim tercemar, hukum akan kehilangan otoritas moralnya di tengah masyarakat.
Ia meminta agar seluruh insan peradilan di Indonesia untuk tidak memberikan pelayanan yang bersifat transaksional.
"Hindari dan jauhi pelayanan yang bersifat transaksional, karena hal tersebut menjatuhkan kehormatan, wibawa, dan martabat korps hakim," tegasnya.
Seperti diketahui, dalam perkara vonis lepas CPO, sebelumnya Kejagung telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka.
Para tersangka itu yakni Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang saat itu menjabat Wakil Ketua Pengadilan Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, tiga majelis hakim Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin serta panitera muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan.
Selanjutnya dua advokat yakni Marcella Santoso dan Ariyanto Bakrie serta Head of Social Security Legal PT Wilmar Group Muhammad Syafei.
Alur Uang Suap Vonis Lepas
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu sebagai Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat bertemu dengan pengacara terdakwa yang kini juga tersangka kasus suap yakni Ariyanto.
Dalam pertemuan itu, Wahyu mengancam putusan perkara ini bisa dihukum maksimal bahkan lebih jika tidak memberikan uang.
"Di mana pada saat itu Wahyu Gunawan menyampaikan agar perkara minyak goreng harus diurus jika tidak putusannya bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan jaksa penuntut umum," kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025).
"Dalam pertemuan tersebut Wahyu Gunawan juga menyampaikan agar Ariyanto yang dalam hal ini selaku penasihat korporasi untuk menyiapkan biaya pengurusannya," sambungnya.
Baca juga: Usut Kasus CPO, Kejagung Periksa Istri Hakim hingga Sopir Marcella Santoso
Atas permintaan itu, Ariyanto pun menghubungi rekannya, Marcella Santoso. Selanjurnya, Marcella bertemu Muhammad Syafei atau MSY yang merupakan tim Legal PT Wilmar Group sebagai terdakwa korporasi.
Pertemuan itu dilakukan di sebuah rumah makan yakni Daun Muda Soulfood by Peresthu - Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan untuk membahas permintaan tersebut. Namun, Syafei berdalih sudah ada yang mengurus.
"Sekitar 2 minggu kemudian, AR dihubungi oleh WG. Pada saat itu WG menyampaikan kembali agar perkara ini segera diurus. Setelah mendapat info tersebut kemudian AR menyampaikan kembali kepada MS. Kemudian MS kembali bertemu lagi dengan MSY di tempat makan Daun Muda, di tempat yang sama dengan pertemuan tadi," tuturnya.
Awalnya, Syafei menyebut perusahaan hanya menyanggupi membayar Rp20 miliar.
Setelahnya, Ariyanto bertemu dengan Wahyu dan Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat di rumah makan Layar Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur.
"Dalam pertemuan tersebut Muhammad Arif Nuryanta mengatakan bahwa perkara minyak goreng tidak bisa diputus bebas. Ini sebagai permintaan yang pertama tadi kepada WG dan ini jawabannya," tuturnya.
"Tetapi bisa diputus onslagh dan ybs dalam hal ini MAN atau Muhammad Arif Nuryantah meminta agar uang Rp20 miliar itu dikali 3 sehingga jumlahnya total Rp60 miliar," imbuhnya.
Baca juga: Advokat Junaedi Saibih dan Marcella Diduga Beri Keterangan Palsu Soal Draft Putusan Kasus Ekspor CPO
Singkat cerita, Syafei menyanggupi permintaan Rp60 miliar tersebut dan uangnya akan diserahkan ke Ariyanto di sebuah parkiran kawasan SCBD, Jakarta Selatan.
Setelahnya, Ariyanto pun mendatangi rumah Wahyu di Cluster Eboni Jalan Eboni 6 Blok AE, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara dan menyerahkan uang tersebut.
Setelahnya, uang itu diserahkan kepada Arif dan Wahyu mendapat komisi perantara sebesar 50.000 USD.
Kemudian, Arif menunjuk tiga orang majelis hakim untuk menangani perkara tersebut yakni Djuyamto cs.
Ketiga Majelis Hakim ini pun bersepakat untuk membuat perkara tersebut divonis onslag atau lepas setelah menerima uang sebesar Rp22,5 miliar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.