Kasus Suap Ekspor CPO
Hakim-hakim Terjerat Suap, Mahfud MD: Ini Darurat, Prabowo Perlu Turun Tangan
Mahfud nilai praktik korupsi di lembaga peradilan saat ini telah bertransformasi menjadi jaringan berbahaya yang serius merusak integritas hukum kita
TRIBUNNEWS.COM - Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Mahfud MD, menilai perlunya langkah intervensi Presiden Prabowo Subianto terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Pasalnya, penegakan hukum di Indonesia belakangan diwarnai maraknya kasus korupsi yang melibatkan beberapa hakim pengadilan.
Hal ini disampaikan Mahfud setelah diskusi publik bertajuk "Enam Bulan Pemerintahan Prabowo, The Extraordinary, The Good, The Bad, and The Ugly" di Trinity Tower, Jakarta Selatan, Kamis (17/4/2025).
"Iya sekarang sudah perlu langkah darurat ya, karena ini situasinya darurat, sehingga perlu keputusan-keputusan darurat, kalau perlu Presiden turun tangan buat Perpu. Bongkar itu semua. Jangan takut-takut, rakyat mendukung," tegas Mahfud.
Menurut Mahfud, Mahkamah Agung (MA) belakangan terlihat merespons kasus korupsi cenderung normatif dan tidak efektif.
"Karena kalau nunggu Mahkamah Agung memperbaiki selalu kembali ke formalitas. Ini sudah (terjadi berulang kali), karena kasus yang terakhir itu melibatkan tiga pengadilan."
"Hakim dan Paniteranya berombongan di situ nerima suap dari tiga korporasi itu. Itu yang sekarang ditemukan oleh Kejaksaan Agung, dan ini darurat," lanjut Mahfud.
Ia menegaskan, praktik korupsi di lembaga peradilan saat ini telah bertransformasi menjadi jaringan berbahaya yang secara serius merusak integritas hukum di Indonesia.
"Nah justru sekarang juga yang tumbuh adalah korupsi peradilan, itu jorok sekali," kata Mahfud.
Ia pun menyinggung soal kasus vonis lepas (onslag) dalam skandal korupsi Crude Palm Oil (CPO).
Mahfud menyayangkan, terdakwa dibebaskan dengan alasan perkara perdata atau dinyatakan tidak terbukti bersalah, meskipun bukti tindak pidana korupsi sangat jelas.
Baca juga: Berkaca Kasus Vonis Lepas CPO, MA Didesak untuk Berbenah dan Membuka Diri kepada Komisi Yudisial
"Ini yang kasus sekarang ini, tiga korporasi, yang kemudian menangkap Hakim Jakarta Selatan, itu kan sudah jelas korupsi, tapi dibebaskan."
"Dengan apa? Kalau di dalam hukum pidana ada dua cara. Satu, namanya onslag. Jadi kasus ada korupsinya, tapi dibilang bukan korupsi, kasus perdata, jadi dibebaskan tiga korporasi yang ‘makan uang triliunan’ itu atau dikatakan tidak terbukti kasus pidananya. Ada dua cara membebaskan itu, onslag atau dikatakan tidak terbukti," ujar Mahfud menganalisis.
Jaringan kerja sama yang melibatkan tiga pengadilan, yakni Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Utara ini menurut Mahfud sungguh sangat berbahaya.
"Coba bayangkan bahayanya korupsi sekarang, jaringannya di pengadilan itu melibatkan tiga pengadilan."
"Hakim yang terlibat dalam suap-menyuap itu bersama paniteranya di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara. Jadi ini sudah jaringan di korupsi. Gila ini sangat berbahaya, sangat jorok sekarang," jelas Mahfud.
Suap Penanganan Kasus CPO
Diketahui, perkara suap dalam kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) melibatkan empat hakim pengadilan negeri dan tiga orang warga sipil lainnya.
Dilansir Kompas.com, empat hakim yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara suap korupsi ekspor minyak sawit mentah atau CPO di antaranya sebagai berikut:
- Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta;
- Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Agam Syarif Baharuddin;
- Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Ali Muhtarom;
- Hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djuyamto.
Dalam kasus ini, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, berperan menerima uang Rp 60 miliar dari tiga orang warga sipil lainnya.
Ia kemudian membagi-bagikan uang suap tersebut kepada ketiga hakim lainnya, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom dan Djuyamto.
Tujuannya, untuk mengatur agar PT Wilmar Group bisa divonis lepas padahal kasus korupsi ada di depan mata.
Kejaksaan Agung menyebut, Agam Syarif Baharuddin menerima Rp 4,5 miliar, Djuyamto Rp 6 miliar, dan Ali Muhtarom Rp 5 miliar.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani/Dewi Agustina)(Kompas.com/Singgih Wiryono)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.