Senin, 29 September 2025

Revisi UU TNI

Amnesty International: UU TNI Masih Mengandung Pasal Bermasalah yang Mengancam Kehidupan Demokrasi

Di tengah kontroversi yang ada, menurut Usman, semestinya DPR dapat menunda pengesahan RUU TNI menjadi undang undang dan bukan malah mengesahkannya.

Penulis: Gita Irawan
Tribunnews.com/Gita Irawan
POLEMIK RUU TNI - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, saat aksi unjuk rasa menolak revisi UU TNI di depan gerbang DPR RI Jakarta pada Kamis (20/3/2025). Usman memberikan catatan terkait UU TNI yang baru disahkan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, memandang proses pembahasan Undang-Undang TNI yang baru disahkan dilakukan terlalu cepat dan terburu buru. 

Di tengah kontroversi yang ada, menurut Usman, semestinya DPR dapat menunda pengesahan RUU TNI menjadi undang undang dan bukan malah mengesahkannya.

Baca juga: Meski Dapat Penolakan, Ketua MPR Yakin Presiden Prabowo Bakal Teken UU TNI yang Baru

"Kami menilai UU TNI masih mengandung pasal bermasalah yang dapat mengancam kehidupan demokrasi, negara hukum dan HAM," kata Usman saat dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (21/3/2025).

"UU TNI masih memberikan ruang militer untuk masuk dalam wilayah non-pertahanan, berada di jabatan sipil (Dwi fungsi) dan akan melemahkan kontrol sipil," lanjut Usman.

Baca juga: Setelah Sahkan UU TNI, Pemerintah dan DPR Diduga Kebut Jadwalkan Revisi UU Kejaksaan

Di sisi lain, terdapat sejumlah pasal usulan Amnesty yang telah diakomodir dalam draf UU TNI yang terakhir beredar.

"Pasal 7 yang soal narkotika dihapuskan akhirnya, pasal 8 penegakan keamanan wilayah di darat itu dihapuskan menjadi pertahanan wilayah di darat. Ancaman siber itu dihapuskan menjadi ancaman pertahanan siber sesuai usulan kami," kata Usman.

"Kementerian Kelautan dan Perikanan (bisa ditempati prajurit TNI aktif) itu dihapuskan sesuai usulan kami. Kejaksaan Agung RI tidak dipenuhi, tapi dikompromikan menjadi Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer," lanjut dia.

Namun ia mengatakan idealnya tidak ada satupun kementerian dan lembaga sipil yang bisa diduduki oleh prajurit TNI aktif sebagaimana termaktub dalam TAP MPR nomor VII tahun 2000.

"Sebenarnya kalau mau berpatokan posisi Amnesty secara ideal, kami tetap berpatokan pada TAP MPR Nomor VII tahun 2000 yang di sana tidak memberikan ruang kekecualian sama sekali (penempatan prajurit TNI di K/L sipil). Dan itu hukum yang lebih tinggi daripada UU TNI," lanjut dia.

Secara kepentingan, menurut Usman, agenda revisi UU TNI juga tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah yang profesional. 

Justru, menurutnya revisi UU TNI akan melemahkan profesionalisme militer. 

Sebagai alat pertahanan negara, lanjut Usman, TNI dilatih, dididik, dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi non-pertahanan.

"Seperti duduk di jabatan-jabatan sipil atau terlalu banyak operasi selain perang seperti program cetak sawah, ketahanan pangan dan lainnya," kata Usman.

Dalam konteks reformasi sektor keamanan, menurut dia, semestinya pemerintah dan DPR mendorong agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 

Menurutnya, argumen yang menyatakan bahwa UU TNI sudah ketinggalan zaman tidaklah salah, akan tetapi juga tidak cukup.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan