Rabu, 1 Oktober 2025
Tujuan Terkait

Dorong Keseimbangan Representasi di Parlemen, Peran Perempuan dalam Demokrasi Tak Sekadar Pelengkap

Diah menyebut, perjuangan politik perempuan selalu berorientasi pada keadilan. Perempuan dipercaya punya peran sentral dalam demokrasi hari ini.

Editor: Wahyu Aji
HandOut/IST
PERAN PEREMPUAN - Forum Group Discussion (FGD) bertema Women Peace dan Security di Jakarta, Rabu (25/2/2025). 

TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA -- Ketua Yayasan Vanita Naraya, Diah Pitaloka menegaskan, perempuan di parlemen bukan sekadar pelengkap, tetapi memiliki posisi taktis dalam penyusunan kebijakan, politik anggaran, hingga isu ketahanan negara.

Keberadaan perempuan dalam parlemen semakin menunjukkan peran strategis dalam memperjuangkan kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Hal itu diungkapkan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Women, Peace and Security di Jakarta, Rabu (26/2/2025).

Diah menyoroti pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik anggaran. Menurutnya, keseimbangan kekuasaan dalam alokasi anggaran negara perlu dikaji dari berbagai perspektif, termasuk dari sudut pandang kelompok afirmatif seperti perempuan dan disabilitas.

"Hari ini publik semakin sadar tentang pentingnya proporsi anggaran negara yang adil. Ini menunjukkan betapa pentingnya representasi perempuan dalam parlemen," ujar Diah,

Diah menyebut, perjuangan politik perempuan selalu berorientasi pada keadilan.

Perempuan dipercaya punya peran sentral dalam demokrasi hari ini.

"Harapan kami bisa terus berkolaborasi dalam membangun perjuangan keadilan yang lebih luas untuk negara ini," terangnya.

Ditambahkan anggota DPD RI, Badikenita Putri Sitepu, keterlibatan perempuan dalam parlemen tidak boleh hanya terpaku pada kuota 30 persen.

Perempuan harus mengambil peran sebagai penyeimbang dalam pengambilan kebijakan.

"Harus dihilangkan mindset perempuan hanya diberi 30 persen porsi. Sebaliknya, harus ditekankan pentingnya keseimbangan antara laki-laki dan perempuan dalam politik," ujar Badikenita.

Selain itu, perempuan di parlemen perlu memiliki kapasitas dan kesiapan menghadapi berbagai tantangan, termasuk dalam kebijakan keamanan dan pertahanan.

Sehingga ketika berhadapan dengan isu-isu besar seperti konflik atau hukum, perempuan bisa memberikan pandangan yang matang dan berbobot.

"Perempuan harus mulai menyuarakan keseimbangan yang sesungguhnya dalam sistem politik, agar Indonesia bisa mencapai kondisi yang lebih adil dan makmur pada 2045," tambah Badikenita.

Sementara itu, Kepala Laboratorium Indonesia 2045 (Lab 45), Jaleswari Pramodhawardani menegaskan, perempuan memiliki peran strategis dalam upaya perdamaian, tetapi sering kali dikecualikan dalam proses formal.

“Ada paradoks dalam resolusi konflik, di mana perempuan menjadi salah satu kelompok sipil yang paling terdampak, tetapi peran mereka sering kali dikecualikan dalam proses formal,” ujarnya.

Jaleswari menjelaskan konflik memiliki dimensi gender yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan, terutama dalam akses terhadap sumber daya dan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, pentingnya lensa gender dalam proses perundingan damai.

“Perempuan memiliki kemampuan mengintegrasikan isu-isu esensial seperti pendidikan, kesehatan, dan hak asasi manusia dalam perdamaian,” katanya.

Untuk itu, dia mengajak untuk memperkuat partisipasi perempuan dalam perdamaian di tingkat lokal hingga internasional.

“Perempuan harus bergerak dari sekadar rencana ke aksi nyata. Regulasi, kebijakan pemerintah, dan dukungan masyarakat sipil harus berjalan seiring untuk memastikan bahwa perempuan benar-benar memiliki ruang dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan,” harapnya.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

asia sustainability impact consortium

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved