Senin, 29 September 2025

Represi Aparat di Aksi Protes Perpanjang Sejarah ‘September Hitam’, Pemerintah Diminta Bertindak

Aliansi Perempuan Indonesia (API) mendesak pemerintah untuk segera menghentikan segala bentuk kekerasa

Editor: Dodi Esvandi
Tribunnews/Danang Triatmojo
REPRESI NEGARA - Konferensi pers ‘Protes Adalah Hak’ oleh Aliansi Perempuan Indonesia, di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025)/ Danang Triatmojo 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTAAliansi Perempuan Indonesia (API) mendesak pemerintah untuk segera menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap warga yang menyuarakan aspirasi. 

Seruan ini muncul menyusul rangkaian demonstrasi rakyat yang berlangsung pada 25 Agustus hingga 1 September 2025, yang diwarnai dengan tindakan represif aparat.

Dalam sepekan aksi tersebut, tercatat 10 orang meninggal dunia, 3.337 orang ditangkap, 1.042 mengalami luka-luka, 20 orang dilaporkan hilang, dan terdapat 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Ketua Umum Perempuan Mahardika sekaligus anggota API, Mutiara Ika Pratiwi, menegaskan bahwa protes adalah hak demokratis yang melekat pada setiap warga negara. 

Ia menyebut pelarangan, pembatasan, atau stigma terhadap aksi protes sebagai bentuk pelemahan demokrasi yang sistematis.

“Protes bukan makar. Ia bukan ancaman, melainkan hak konstitusional. Melarang atau menstigma protes adalah cara paling licik untuk membungkam demokrasi,” ujar Ika dalam konferensi pers bertajuk Protes Adalah Hak di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).

Baca juga: Komnas Perempuan soal Brave Pink Hero Green: Saat Warna Jadi Simbol Perjuangan Warga

API menilai kekerasan yang terjadi selama aksi tersebut memperpanjang daftar kelam dalam sejarah ‘September Hitam’—mulai dari tragedi 30 September 1965, Tanjung Priok 1985, Semanggi II 1999, pembunuhan Munir 2004, Salim Kancil 2015, Reformasi Dikorupsi 2019, penggusuran Rempang 2024, hingga insiden terbaru tahun ini.

Menurut API, kekerasan yang menyasar jurnalis, pendamping hukum, aktivis, dan influencer kritis menunjukkan pola pembungkaman sistematis terhadap suara rakyat. Negara dinilai lebih memilih pendekatan koersif daripada membuka ruang dialog.

Ika menyebut aksi protes sebagai bentuk kemarahan publik terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat—mulai dari kenaikan harga kebutuhan pokok, pajak yang memberatkan, meningkatnya pengangguran, hingga gelombang PHK massal.

“Rakyat menanggung beban, sementara para pejabat menikmati kemewahan dengan gaji dan tunjangan tinggi. Protes adalah ekspresi sah atas ketimpangan itu,” tegasnya.

Senada dengan Ika, Siti Aminah Tardi, mantan anggota Komnas Perempuan dan peneliti ILRC, menekankan bahwa penyampaian pendapat di muka umum adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak boleh direspons dengan intimidasi atau kekerasan.

Sebagai bentuk dorongan pemulihan demokrasi, API menyampaikan delapan tuntutan kepada pemerintah, di antaranya:

  • Menghentikan segala bentuk kekerasan oleh negara, termasuk menarik mundur TNI dan Polri dari penanganan aksi protes
  • Menuntut Kapolri Listyo Sigit untuk mundur dan membebaskan seluruh peserta aksi yang ditahan tanpa syarat
  • Mengakhiri kriminalisasi terhadap aktivis, jurnalis, media, dan pendamping hukum
  • Menjamin hak konstitusional warga untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat tanpa intimidasi
  • Mencabut larangan siaran langsung, membuka blokir komunikasi, dan menjamin independensi media
  • Mengalihkan anggaran TNI dan Polri ke sektor pelayanan publik
  • Melakukan reformasi birokrasi dan kepolisian secara menyeluruh
  • Menghapus fasilitas mewah dan tunjangan anggota DPR serta membuka ruang dialog publik dalam proses legislasi

API menegaskan bahwa demokrasi tidak akan tumbuh dalam bayang-bayang kekerasan. Negara, menurut mereka, harus memilih jalan dialog, bukan represi.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan